Kedatangan Bangsa Barat di Indonesia

Ilustrasi penjelajahan samudera. FOTO/iStockphoto

Kedatangan bangsa Barat ke Kepulauan Nusantara tak dapat dipisahkan dari perkembangan politik, keagamaan, sosial, beserta budaya yang terjadi di benua Eropa dan sekitarnya. Semenjak lama rempah-rempah merupakan komoditas yang digemari di Eropa. Harganya di Eropa sangatlah tinggi, karena biaya transportasinya yang besar. Kepulauan Nusantara–penghasil rempah-rempah tersebut–telah tersohor sejak dahulu sebagai sumber kekayaan Timur Jauh. Berakhirnya Abad Gelap dan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan serta pelayaran mendorong Bangsa Barat mencari sumber rempah-rempah tersebut. Misi ini juga dipicu oleh semangat keagamaan, karena pada saat itu terjadi persaingan dengan para pedagang Arab dan Turki yang beragama Islam; apalagi setelah jatuhnya Konstantinopel di tahun 1453 ke tangan Turki. Di antara berbagai bangsa Eropa yang pertama kali mengembangkan teknologi penjelajahan samudera mereka adalah Portugis.

Dengan mengitari ujung selatan Afrika (Tanjung Harapan), Vasco da Gama, yang diperintahkan raja Portugis agar menghentikan seluruh aktivitas pelayaran Arab antara Mesopotamia dan India, berhasil tiba di Goa, India, pada tahun 1498. Penjelajah Portugis lainnya, Alfonso de Albuquerque, berlayar lebih ke timur lagi. Ia memantapkan jalur perdagangan Portugis di Timur Jauh dan kerap memerangi para pedagang Gujarat yang berlalu lalang antara India–Malaka. Albuquerque menghimpun armada yang terdiri dari 19 kapal dan 800 prajurit serta bertolak menuju Malaka. Ia memaksa sultan agar memberikan izin pendirian benteng Portugis di wilayah kekuasaannya. Sultan menolaknya dengan tegas, karena merasa bahwa hal itu sungguh merendahkan martabat negerinya. Tentu saja penolakan itu terdengar di telinga orangorang Portugis sebagai tantangan berperang.

Serangan pertama Portugis dilancarkan tak lama kemudian, tetapi boleh dibilang berujung pada kegagalan. Baru pada serangan kedua tanggal 10 Agustus 1511, Malaka jatuh ke tangan Portugis. Setelah menduduki Malaka, mereka membangun bentengbenteng pertahanan dan tanpa ampun merusak pemakaman penduduk setempat guna memperoleh bahan bangunan. Karena kerap memaksakan monopoli perdagangannya, kedatangan Portugis memancing ketidak-puasan para pedagang Asia lainnya, seperti Arab dan China. Dengan demikian, tak sedikit di antara mereka yang mengalihkan aktivitas perniagaannya ke tempat lain. Selain itu, Albuquerque melakukan kesalahan utama dengan menghukum mati pedagang utama Jawa karena dituduh menentang Portugis. 

Penerapan monopoli dagang ini dimaksudkan Portugis sebagai perang ekonomi atau pembangkrutan terhadap Turki, saingan mereka yang beragama Islam. Menurut orang-orang Portugis, “setiap kilo pala yang diambil dari pedagang Muslim adalah pukulan terhadap kemakmuran kota-kota perdagangan di Suriah dan Mesir.” 6 Albuquerque menyadari bahwa sebagai strategi terbaik, mereka harus mengikat persahabatan dengan para penguasa Maluku, kepulauan penghasil rempah utama di Nusantara. Ternyata, masalahnya tak sesederhana itu, karena penguasa Maluku telah menganut agama Islam kurang lebih seperempat abad sebelumnya.

Albuquerque mengutus D’Abreu berlayar ke Maluku pada akhir 1511. Tetapi, ekspedisi ini boleh dikatakan tidak membuahkan hasil maksimal. Salah satu perahu mereka hilang antara Jawa dan Banda. Dua kapal lainnya tiba di Banda dan sudah cukup puas dengan memuat rempah-rempah dari sana. Mereka tidak berniat lagi melanjutkan perjalanannya ke Ternate dan Tidore. Dalam perjalanan pulang ke Malaka, satu di antara dua kapal yang tersisa terdampar di Ambon karena amukan badai. Hanya satu kapal saja yang tiba dengan selamat di Malaka. 

Meskipun ekspedisi D’ Abreu sebagaimana yang diuraikan di atas tak sesuai harapan, peristiwa ini sedikit banyak membuka lembaran baru bagi hubungan antara Portugis dan raja-raja di Maluku, karena awak kapal yang karam di Ambon itu kemudian meneruskan perjalanannya ke Ternate. Dengan demikian, sultan Ternate mendengar perihal mengenai kedatangan bangsa Portugis. Perdagangan kemudian terjalin baik antara Ternate dan Portugis. Waktu itu, di Maluku sedang berkecamuk persaingan akut antara Ternate dan Tidore. Kedua belah pihak mengundang Portugis yang dianggap unggul persenjataannya agar membangun benteng di tempat mereka. Baik raja Ternate maupun Tidore ingin menjadikan Portugis sebagai pelindung mereka. Selain itu, raja-raja Maluku mengetahui bahwa Portugis membeli komoditas rempahrempah mereka dengan harga lebih tinggi dibandingkan para pedagang lainnya. Para raja telah menyadari bahwa dengan menerima perlindungan terhadap musuhnya, kedudukan mereka akan berada di bawah raja Portugis. Kendati demikian, hal ini bukanlah persoalan besar bagi mereka. 

Tentunya, Portugis harus menentukan pihak dan mereka akhirnya memilih Ternate. Otomatis dengan dijatuhkannya pilihan ini, Tidore menjadi musuh mereka. Sebagai imbalan atas perlindungan tersebut, sultan Ternate memberikan izin monopoli perdagangan rempah bagi Portugis. Persekutuan antara Ternate dan Portugis ini sebenarnya boleh dipandang aneh; mengingat raja Ternate menerapkan agama Islam lebih ketat ketimbang Tidore. Tetapi pada kenyataannya aliansi ini dimungkinkan juga mengingat keuntungan dari segi perniagaan dan pertahanan yang dipetik kedua belah pihak. Berdasarkan fakta di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa perseteruan antara sesama raja-raja Maluku mengakibatkan kepulauan tersebut jatuh ke tangan Portugis. 

Portugis terus berupaya meluaskan pengaruhnya melalui jalinan hubungan dengan raja-raja pedalaman yang belum menganut agama Islam, seperti Pajajaran dan Blambangan. Selama bercokol di Kepulauan Nusantara, tidak jarang Portugis terlibat peperangan dengan raja-raja setempat. Aceh yang saat itu diperintah oleh Sultan Iskandar Muda merupakan salah satu musuh bebuyutan Portugis. Pertempuran yang terjadi antara Aceh dan Portugis membuahkan kemenangan yang silih berganti. Pada tahun 1614, Aceh berhasil mengalahkan Portugis yang menduduki Bintan. Meskipun demikian, kedigdayaan angkatan perang Sultan Iskandar Muda tidak berlangsung selamanya, karena Aceh kerap menghabiskan tenaganya dalam perselisihan dengan negara tetangganya, seperti Johor, Kedah, dan lain sebagainya. Akibatnya, pada tahun 1629 giliran Aceh menuai kekalahan terhadap Portugis. 

Menyaksikan keberhasilan Portugis di Timur Jauh, bangsa-bangsa Eropa lain tidak tinggal diam. Spanyol yang berhasil mematangkan kemampuan navigasi dan teknik pelayarannya memasuki pula era pelayaran samudera. Pada tahun 1521, Magellan tiba di Brunai, pantai utara Kalimantan. Perjalanan diteruskan ke Filipina, tetapi Magellan menemui ajalnya di sana. Rombongan Spanyol ini akhirnya tiba di Maluku. Kehadiran tamu tak diundang ini jelas sekali merupakan mimpi buruk bagi Portugis. Mereka merasakan bahwa orang-orang Spanyol yang baru tiba tersebut berpotensi menjadi pesaing mereka. 

Guna menengahi persaingan antara Portugis dan Spanyol, paus selaku pemimpin tertinggi Gereja Katolik mengeluarkan surat keputusan (bulla) yang membagi daerah pengaruh kedua bangsa. Pada mulanya Paus Aleksander VI mengeluarkan surat keputusan Inter Caetera tanggal 4 Mei 1493–tidak lama setelah Kolombus menemukan benua Amerika. Isinya menetapkan adanya garis khayal yang membujur dari utara ke selatan 300 mil sebelah barat Kepulauan Azores. Seluruh daerah di sebelah barat garis ini menjadi milik Spanyol, sedangkan sisanya di sebelah timur menjadi hak Portugis. Raja John II dari Portugal kurang puas dengan ketetapan ini dan meminta pada raja Spanyol, Ferdinand berserta ratunya, Isabella, agar menggeser batas daerah pengaruh ini lebih ke barat lagi. 

Pembagian dunia berdasarkan Perjanjian Tordesillas(Encyclopaedia Britannica)

Spanyol menyepakatinya dan kesepakatan tersebut dituangkan dalam Perjanjian Tordesillas (7 Juni 1494), yang memindah letak garis batas mereka ke 370 league sebelah barat Kepulauan Tanjung Verde. Kini letaknya kurang lebih 48° hingga 49° Bujur Barat. Pembagian ini tidak menyelesaikan permasalahan, karena bumi berbentuk bulat. Sekalipun dua orang berjalan ke arah berlawanan, yakni barat dan timur, suatu saat mereka akan bertemu juga. Titik pertemuan mereka ternyata adalah Kepulauan Maluku. Tibanya armada Spanyol di Maluku diprotes oleh Portugis, yang mereka tuduh sebagai pelanggaran Perjanjian Tordesillas. Guna mengatasi perselisihan antara kedua kekuatan adidaya di Eropa masa itu, diadakanlah Perjanjian Saragossa (22 April 1529). Garis demarkasi baru ditetapkan 297 1/2 league sebelah timur Maluku. Berkat perjanjian ini Portugis berkuasa penuh di Maluku, tetapi penaklukan Spanyol atas Pilipina tampaknya merupakan pelanggaran bagi perjanjian tersebut. Penerapan perjanjian-perjanjian di atas mengundang permasalahan tersendiri, karena kemampuan menetapkan jarak atau lokasi beserta garis lintang dan bujurnya belum semaju sekarang; sehingga kerap terjadi persengketaan berkenaan dengannya. Hasil perhitungan letak Maluku antara para ahli geografi serta navigasi Spanyol dan Portugal saja berselisih 47° 7. 

Karena Portugis telah menerima pinangan Ternate, kedatangan orang-orang Spanyol disambut gembira oleh sultan Tidore. Ia mengundang orang-orang Spanyol sebagai pengimbang atas aliansi Portugis–Ternate. Dengan demikian, meskipun perdamaian di Eropa tercapai antara Portugis dan Ternate melalui Perjanjian Saragossa, tetapi angkatan perang mereka terlibat persaingan di Timur Jauh. Sementara itu, pemain lain, bergerak semakin dekat ke Kepulauan Nusantara. 

Belanda kini turun ke gelanggang persaingan memperebutkan daerah-daerah jajahan. Pada 5 Juni 1596, empat kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman merapat di pantai barat Sumatera dan tiba di Banten. Sebenarnya Belanda telah mempersiapkan diri semenjak lama. Ahli geografi terkemuka Belanda, Jan Huyghen van Linschoten, hidup bertahun-tahun di Goa, India, dan mengumpulkan berbagai informasi penting mengenai pelayaran. Para pelaut Belanda sendiri telah terbiasa berlayar ke Brazil, baik dengan mengibarkan bendera mereka sendiri atau Portugis. Karena itu, tibanya mereka di Kepulauan Nusantara hanya masalah waktu saja. Awak kapal Belanda yang tiba di Banten tersebut disambut baik oleh penduduk setempat. 

Sultan Banten mengikat perjanjian persahabatan dengan para pelaut Belanda, tetapi perilaku kasar Cornelis de Houtman merusaknya tak lama kemudian. Persahabatan akhirnya dapat dipulihkan kembali dan Cornelis de Houtman meneruskan pelayarannya ke arah barat. Di Madura terjadi insiden yang dipicu oleh kecurigaan dan kesalah-pahaman awak kapal Belanda terhadap dua orang utusan penguasa setempat. Akibatnya, kapal-kapal Belanda segera berlabuh meninggalkan tempat itu dan bertolak kembali ke negerinya. Kedatangan empat kapal dagang di atas merupakan perintis bagi misi-misi perdagangan Belanda di kemudian hari. 

Tidak berapa lama setelah itu, kapal-kapal dagang Belanda semakin ramai mengunjungi Timur Jauh. Cornelis de Houtman memimpin lagi suatu armada dagang pada tahun 1599. Tetapi kecerobohan dan perilaku kasarnya menyebabkan dirinya menemui ajal di Aceh. Frederick, saudaranya, ditawan oleh orang Aceh selama dua tahun dan terus-menerus terancam dihabisi nyawanya. Namun selama masa penahanannya itu, ia berkesempatan menyusun kamus Melayu-Belanda serta terjemahan Melayu bagi doa-doa Kristen. Meskipun demikian, armada Belanda di bawah pimpinan van Neck berhasil mencapai Maluku. 

Armada-armada dagang Belanda yang semakin ramai mengunjungi Kepulauan Nusantara tidak disambut gembira oleh orang-orang Portugis. Saat itu, kedigdayaan mereka telah menurun drastis. Tidak berbeda dengan Spanyol, orang-orang Belanda itu dianggapnya sebagai saingan-saingan mereka. Suatu misi Portugis dibawah pimpinan de Brito diutus ke Banten guna menjelek-jelekkan pelaut-pelaut Belanda tersebut di hadapan sultan. Namun, alih-alih berhasil dalam misinya, malah orangorang Portugis yang mendatangkan reputasi buruk bagi diri mereka sendiri. Rajaraja Nusantara justru gembira dengan persaingan antara Portugis dan Belanda, karena berkesempatan menaikkan harga komoditas mereka beberapa kali lipat. Kepala pelabuhan setempat menaikkan bea pelabuhan setiap bulannya. Namun para pedagang Belanda yang berlomba-lomba mendapatkan kargo terbaik selalu bersedia membayar berapapun harga yang diminta para penguasa setempat. Relasi Belanda dengan para penguasa setempat mulanya baik-baik saja, tetapi belakangan timbul konflik karena mereka mulai memaksakan monopoli dagangnya guna mematikan para pesaing lainnya. 

Portugis menghadapi masalah di Maluku karena kesewenang-wenangannya, sultan Ternate, Khairun, akhirnya bangkit melawan Portugis. Hubungan Portugis dan Ternate memburuk. Apalagi setelah Sultan Khairun ditipu dan dibunuh oleh Portugis pada tahun 1570. Pimpinan perlawanan kini beralih pada Sultan Baabullah, pengganti Khairun. Kedudukan Portugis mulai terdesak dan terhalau dari Maluku pada 28 Desember 1577. Alur sejarah selanjutnya tak terpisahkan dari perkembangan penting yang terjadi di benua Eropa. Semenjak tanggal 15 November 1582, Portugis disatukan dengan Spanyol di bawah Raja Felipe II. Raja Spanyol memerintahkan agar anak buahnya yang berada di Pilipina membantu Portugis mendapatkan lagi daerah kekuasaannya di Ternate. 

Upaya ini menemui jalan buntu akibat kemunculan armada Belanda di bawah pimpinan Steven van der Haghen. Satu per satu benteng Portugis jatuh ke tangan Belanda. Steven van der Haghen merebut benteng Belanda di Amboina pada 23 Februari 1605 dan setelah itu menyusul benteng-benteng lainnya. Tetapi pasukan Spanyol sanggup merebut kembali benteng di Tidore pada tahun 1606 karena hanya dijaga sejumlah kecil pasukan Belanda saja. Benteng Gamalama direbut pula dari tangan Belanda dan Sultan Said, raja Ternate ditawan serta diasingkan ke Pilipina. 

Belanda mengirimkan pasukannya pada tahun 1607 dan dengan dukungan rakyat Ternate yang membenci Spanyol karena mengasingkan rajanya melakukan perlawanan terhadap Spanyol. Kedudukan Portugis dan Spanyol semakin terdesak dari Kepulauan Nusantara, sehingga Belanda berkesempatan menanamkan hagemoni mereka. Akhirnya yang tersisa sebagai daerah kekuasaan Portugis hanyalah ujung timur Pulau Timor, yang bertahan dalam genggaman mereka hingga 1975. 

Guna memantapkan kegiatan perniagaannya, Belanda mendirikan persekutuan dagangnya yang disebut Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Banten pada tahun 1603. Kepalanya yang pertama adalah Francois Wittert. Pengambil keputusan tertinggi para persekutuan dagang ini adalah 17 orang direktur. Mereka berhak mengangkat seorang gubernur jenderal VOC yang berkedudukan di Batavia. Parlemen Belanda memberi kuasa pada VOC melakukan monopoli perdagangan di Asia. Armada-armada dagang mereka juga dilengkapi senjata-senjata berat guna menghadapi saingan mereka dan menghadapi perlawanan rakyat setempat. Demi memaksakan monopolinya, VOC menggerogoti kekuasaan raja-raja Nusantara baik melalui peperangan ataupun diplomasi. 

Beberapa kawasan di Indonesia jatuh ke tangan VOC. Kurang lebih setengah abad kemudian, VOC menguasai jalur-jalur perdagangan antara Teluk Benggala serta Srilanka hingga mencapai Nagasaki di Jepang. Kendati demikian, wilayah yang berada di bawah pengendalian mereka belum terlampau luas. Dalam rangka memaksakan monopoli perdagangan, VOC tidak jarang menghadapi perlawanan gigih raja-raja Nusantara, seperti Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, dan Sultan Hasanuddin dari Gowa. Kendati demikian, semua perlawanan ini akhirnya berhasil dipatahkan dan kebanyakan di antara mereka dipaksa menandatangani perjanjian yang merugikan serta memberikan keleluasaan semakin besar pada VOC dalam mencampuri permasalahan internal kerajaan mereka. Inilah yang merupakan titik pangkal keruntuhan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Nusantara.

Bangsa Eropa lain yang pernah mengunjungi Kepulauan Nusantara adalah Inggris. Tetapi pengaruh mereka tidak besar dan tidak panjang usianya. Penguasaan riil Inggris atas Kepulauan Nusantara hanyalah berlaku antara 1811 hingga 1816. Selain itu, mereka pernah pula menduduki Bengkulu, sebelum wilayah itu diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda. Orang-orang Inggris datang ke Aceh pada tahun 1636 dan disambut baik oleh sultan. Mereka dibebaskan dari bea perdagangan dan diberi izin mendirikan kantor dagang. Kini giliran Belanda yang tidak senang terhadap kehadiran mereka dan menganggap para pedagang Inggris itu tak lebih dari kaum perompak. Awalnya, hubungan terjalin baik antara Inggris dan Aceh, tetapi sultan akhirnya menyadari bahwa Inggris merupakan sahabat Portugis–musuh bebuyutan Aceh; sehingga ketidak-senangan terhadap Inggris mulai merebak. Sikap Aceh ini menguntungkan Belanda, karena VOC terlibat permusuhan dengan Portugis.yang berbasis di Malaka. 

VOC mengalami kebangkrutan dan dibubarkan pada tahun 1799. Semenjak saat itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan Kepulauan Nusantara diambil alih oleh pemerintah Belanda. Dalam kurun waktu antara abad ke-19 hingga 20, kekuasaan pemerintah kolonial Belanda makin diperluas hingga mencapai pelosok-pelosok terjauh Kepulauan Nusantara. Pemerintah kolonial yang berpusat di Batavia berupaya menanamkan kekuasaan mereka dengan memaksa para raja dan penguasa setempat menandatangani perjanjian yang dikenal sebagai lang contract (lange verklaring atau plakat panjang) dan korte verklaring (plakat pendek). Kendati lang contract pada hakikatnya menyatakan kesetaraan kekuasaan antara berbagai kerajaan tersebut dengan pemerintah kolonial Belanda, pemegang inisiatif sebenarnya adalah Belanda. Sedangkan korte verklaring intinya adalah pernyataan takluk terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka wajib menyetujui ditempatkannya pejabat-pejabat pemerintah kolonial Belanda sebagai pengawas bagi jalannya roda pemerintahan beserta segenap kebijakan di negeri mereka, yang sudah pasti menguntungkan Belanda; di mana segenap arahan pejabat-pejabat Belanda ini harus dipatuhi oleh para raja dan penguasa setempat. 

Proses pengakuan atas kedaulatan pemerintah kolonial Belanda ini tak selamanya berjalan mulus dan kerap dilanda gejolak. Tidak jarang Belanda harus mengerahkan kekuatan militernya guna memaksa para raja mengakui kekuasaan mereka. Raja Bone dan Gowa, sebagai contoh, pada awal abad ke-20 melakukan perlawanan yang gigih terhadap pasukan kolonial, tetapi dapat dikalahkan. Secara umum, kondisi Indonesia saat itu terpecah belah atas ratusan kerajaan dan kesatuan adat, yang tak jarang bermusuhan satu sama lain. Itulah sebabnya, tidak sulit bagi Belanda menerapkan politik devide et imperanya dalam memangkas kekuasaan para raja atau pemuka masyarakat setempat. Pada tahun 1894, Belanda menaklukkan Kerajaan Mataram di Lombok dengan dalih melindungi masyarakat Sasak yang tertindas. Lalu satu persatu kerajaan-kerajaan di Bali masuk ke dalam payung kekuasaan pemerintah kolonial. Kini tinggal Aceh yang masih memusingkan Belanda dan proses penaklukannya memakan biaya serta korban jiwa yang tak sedikit.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama