Sejarah umumnya ditulis
berdasarkan pemikiran dan tindakan manusia di masa lampau. Oleh karena itu,
sejarawan harus berusaha mengadakan penyelidikan untuk mengetahui segala yang
dipikirkan dan diperbuat manusia pada masa itu. Dalam proses penyelidikan,
sejarawan harus bekerja keras untuk memeroleh fakta-fakta sejarah dan dapat
memaparkannya. Persoalannya ialah apakah semua pengetahuan masa lampau itu
dapat dikatakan fakta?
Menurut Sartono Kartodirdjo,
(1992) fakta dapat digolongkan menjadi dua, ertama adalah fakta yang masih
lunak (cold facts/soft fact), yakni fakta yang masih labil, fakta yang masih
perlu diselidiki atau diuji kebenarannya. Untuk menguji kebenaran fakta-fakta
tersebut, sejarawan harus mendapatkan buktibukti yang kuat. Kedua adalah fakta
yang keras (hard fact), yakni fakta yang sudah stabil, fakta yang sudah teruji
kebenarannya. Contoh fakta yang masih lunak adalah pembunuhan J.F. Kennedy yang
masih sangat kontroversial. Sedangkan fakta yang keras antara lain Declaration
of Independence 1776, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diucapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Agustus 1945, dua tokoh Proklamator Indonesia ialah Ir.Soekarno
dan Drs. Moh. Hatta; itu semua telah pasti dan telah menjadi bukti dalam
sejarah.
Fakta merupakan bahan utama yang
digunakan oleh sejarawan untuk menyusun cerita. Fakta adalah suatu pernyataan
tentang sesuatu yang telah terjadi. Umumnya, fakta erat hubungannya dengan
pertanyaan tentang apa, siapa, kapan dan di mana. Kegiatan dari masing-masing
individu, tanggal-tanggal peristiwa lokasi atau tempat kejadian, objek-objek
tertentu, semuanya adalah fakta. Kebenaran fakta tergantung pada keberadaan
evidensi empiris sehingga setiap pengamat yang tertarik atau tidak memihak akan
sependapat. Kebenaran atau kepalsuan dari pernyataanpernyataan semacam itu
dapat diuji oleh setiap orang yang ingin melakukannya.
Menurut E.H. Carr (1985), fakta ibarat goni, baru dapat berdiri sendiri setelah diisi di dalamnya. Fakta baru berbicara setelah sejarawan memilihnya untuk berbicara. Sejarawan sendirilah yang memutuskan alasan-alasan tertentu untuk menjadikan sesuatu, seseorang, peristiwa atau perbuatan-perbuatan sebagai fakta.
Jadi, fakta sejarah tidak lain adalah keterangan atau kesimpulan tentang terjadinya peristiwa atas dasar bukti-bukti yang ditinggalkan sesudah mengalami pengujian secermat-cermatnya. Fakta sebenarnya telah merupakan produk dari proses mental atau emosional sejarawan. Oleh karena itu, pada hakekatnya fakta juga bersifat subyektif, memuat unsur dari subyek (Sartono Kartodirdjo, 1992).
0 Komentar