Jalur Rempah dan Keberadaan Bangsa Asing di Nusantara



Sejarah mencatat manusia telah melakukan perjalanan melintasi ruang sejak awal masehi  termasuk juga orang-orang di Nusantara. Aktivitas melintasi ruang  salah satunya didorong oleh kegiatan ekonomi dengan melalui jalur laut. Mengenai bukti awal keterlibatan Nusantara ke dalam pelayaran dan  perdagangan internasional, dapat  dilacak  dari  catatan seorang  yang  bernama Claudius   Ptolemy alias  Claudius  Ptolemaeus ahli perbintangan, geografi, astronomi, matematika, sekaligus ahli syair dan  sastra yang  tinggal  di  Mesir,  atau tepatnya  di  Kora Alexandria sebuah  tempat yang pada  saat itu berada di bawah  kekuasaan kerajaan Romawi. Ptolemaeus menulis   Guide to  Geography, sebuah  peta kuno yang  ditulis  pada  abad  I,  tercantum  didalamnya nama  sebuah  kota yang bernama Barus. Barus menjadi  kota pelabuhan kuno yang sangat penting di  Sumatra  dan  dunia.  Komoditas  aromatik rempah kapur barus  diburu  oleh berbagai bangsa  di belahan dunia  seperti Tiongkok, Hindustan, Mesir, Arab, dan Yunani-Romawi.

Hubungan pelayaran antara Nusantara dengan Timur Tengah, India dan Cina sudah terjalin sejak abad II. Tercatat di dalam berita Cina, sekitar tahun  131, dikisahkan utusan  Raja  Bian  dari  Kerajaan  Jawa  (Yediao) pernah berkunjung ke Cina (Wuryandari, 2015). Hal ini berarti Kerajaan Jawa pada awal abad II Masehi telah melakukan pelayaran  antar negara dan telah membangun jalur kemaritiman dengan bangsa  Cina. 

Nusantara ketika itu tidak  hanya  menjadi  daerah  destinasi sebagai sumber   rempah-rempah  tetapi  tempat  persinggahan jalur  maritim internasional.   Seperti  dikisahkan  oleh   penumpang  kapal  dagang milik  Cina  pada  abad  V. Ia berlayar menuju  India  melewati perairan Sumatra Timur  sebelum   membelok ke  arah  barat   (Mulyadi,  2016). Ibnu  Batutah, seorang  penjelajah dan intelektual Muslim  asal Maroko pernah  mengunjungi  Pantai  Timur   Sumatra  pada   1345   sebelum bertolak menuju  Cina.  Seorang  pengelana asal  Portugis,  Tome  Pires juga pernah mengisahkan perjalanannya mengunjungi Malaka, Jawa, dan  Sumatra pada  tahun 1512-1515. Ia menulis  pengalaman dalam bukunya berjudul Suma  Oriental que trata do Mar Roxo ate aos Chins (Ikhtisar Wilayah  Timur: dari  Laut Merah  hingga  negeri Cina) bahwa telah   ada  interaksi  yang  intens  antara  orang-orang  asli  Nusantara dengan  bangsa  asing. 

Pelayaran internasional lintas  benua telah berlangsung dan berkembang lama. Rempah  dibawa  oleh nenek  moyang  kita melintasi batas  wilayah   nasional,  regional   bahkan global.    Di Asia  Tenggara misalnya  hingga ke wilayah ke Campa  dan Kamboja.

Nusantara sebagai Melting Pot Kebudayaan 

Berbagai  suku bangsa  di Indonesia sudah  ribuan tahun terlibat aktif sebagai tuan  rumah bagi pedagang-pedagang asing. Juga sebagai tamu dari dan ke berbagai negara  di tepi Samudra Hindia, baik ke arah timur (India, Afrika, dan  Arab) maupun utara (negara-negara ASEAN) dan selatan (Benua Australia). Sebagai hasil dari proses  interaksi yang lama dan  intensif itu,  terjadilah  saling  adopsi-dengan  kontekstualisasi• elemen-elemen kebudayaan,  termasuk  peradaban di  antara   bangsa• bangsa  itu. Bahasa, agama, struktur sosial, monumen-monumen kuno, seperti candi dan masjid adalah produk dari pertukaran dan adopsi itu. 

Wilayah   Asia  sendiri,  memiliki   beragam  ideologi,  kebudayaan, dan  sistem tatanan sosial  masyarakatnya sendiri. Dengan  demikian, negara-negara di  tepian   Samudra Hindia   memberikan respons  yang berbeda-beda menanggapi ideologi  dan  sistem politik ekonomi  yang dikembangkan oleh  pendatang. Hal tersebut memunculkan berbagai konsekuensi-yang lahir  dari  interseksi budaya dan  peradaban antara negara  penghuni dan  negara  pendatang. Beragam  konsekuensi yang terjadi, khususnya bagi  Indonesia, tercermin dari  fenomena diaspora yang ada hingga  saat ini.

Peristiwa sejarah  telah  memperlihatkan kepada kita bagaimana beragamnya gambaran masyarakat Indonesia pad a mas a lalu. Bercermin dari  situasi  tersebut, kalian  sebagai  generasi  penerus bangsa harus  bisa memahami bahwa  seperti halnya  di masa  lalu, Indonesia pada  saat  ini adalah  juga sebuah  Melting  Pot dimana banyak terdapat suku, agama, ideologi yang saling berinteraksi dalam  suatu wilayah.

Post Navi

Posting Komentar

0 Komentar