Kemajuan Perdagangan Antar Pulau Membangkitkan Kerajaan Maritim Nusantara

Gambar rempah-rempah. Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id/

Kepulauan Nusantara memiliki potensi kekayaan alam yang luar biasa. Masing-masing daerah mempunyai hasilnya sendiri-sendiri; sehingga memicu perdagangan antar kawasan yang telah berlangsung semenjak lama. Lebih jauh lagi, perdagangan antar pulau ini pada gilirannya membangkitkan berbagai kerajaan maritim, seperti Samudera Pasai, Aceh, Indragiri, Jambi, Demak, Palembang, Banten, Cirebon, Gowa, Banjar, Ternate, dan lain sebagainya. Kerajaan-kerajaan jenis lebih mengandalkan perdagangan dan pelayaran ketimbang kegiatan agraris. Komoditas yang dihasilkan masing-masing pulau itu antara lain dapat dapat dirangkum sebagai berikut.

  • Sumatera: emas, belerang, besi, kain sutra damar, madu, lilin, tir, lada, beras, dan lain sebagainya. Hasil-hasil ini dipertukarkan dengan kain yang berasal dari India.
  • Jawa Barat: emas, beras, lada, asam Jawa.
  • Jawa Tengah dan Timur: emas, beras, lada, asam Jawa, batu batu berharga, kain, dan lain sebagainya. Komoditas ini dipertukarkan dengan kain India yang bermutu baik dan barang-barang yang berasal dari Cina.
  • Kalimantan: beras, emas, intan, dan lain sebagainya.
  • Sulawesi: beras, emas, dan lain sebagainya.
  • Bali dan Nusa Tenggara: beras, kain bermutu kasar, kuda, cendana, dan lain sebagainya.
  • Maluku: pala, cengkih, sagu, dan rempah-rempah.
Tomé Pires (1468-1539) 4 , penjelajah Portugis, menjadi saksi mata ramainya perdagangan antar pulau di atas. Menurut catatannya, di awal abad ke-16, Banda telah mengimpor kain halus buatan negeri-negeri Asia Barat, seperti India yang dibawa oleh para pedagang Portugis. Sementara itu, pedagang-pedagang kecil dari Jawa dan Melayu memperdagangkan kain yang lebih kasar mutunya. Para penguasa Gresik di pesisir pantai utara Jawa kerap membeli seluruh kain berkualitas halus tersebut. Selain dijual kembali ke Banda dan kawasan sekitarnya, tekstil bermutu tinggi itu dijadikan pakaian raja atau disimpan sebagai barang berharga di perbendaharaan kerajaan. Kain yang kasar juga laku di Banda karena dapat ditukar dengan sagu dan rempah-rempah dari Halmahera dan Papua. Sagu yang diperoleh pula dari Kepulauan Kei dan Aru merupakan makanan pokok penduduk Maluku dan dapat disimpan sebagai bekal selama melayari samudera karena tahan lama.

Pada zaman itu, mata uang belum banyak dikenal, terutama di Kepulauan Nusantara bagian timur, sehingga sagu banyak dipakai sebagai alat tukar, dan demikian pula halnya dengan lada. Komoditas perdagangan penting lainnya adalah rempahrempah, terutama pala dan cengkih. Maluku Utara merupakan penghasil cengkih yang penting; namun karena sebagian warganya memusatkan perhatian pada budi daya tanaman tersebut, bahan pangan harus didatangkan dari tempat lain. Sedangkan pala banyak tumbuh di Maluku Selatan (seperti Seram dan Ambon) dan Banda. Kendati demikian, pada abad ke-16, harga pala dan cengkih ini pernah jatuh; sehingga para petani pala di Banda lebih suka membuang atau membakar palanya, ketimbang menjualnya dengan harga rendah. Rempah-rempah ini pula yang menjadi sumber kemalangan bagi Maluku, karena belakangan bangsa Barat memaksakan monopoli dagang terhadap komoditas tersebut, sebagaimana halnya dengan hasil-hasil bumi dari bagian Kepulauan Nusantara lainnya. Bangsa Barat yang kelak menguasai Maluku tidak mengizinkan perdagangan rempah-rempah dengan bangsa lain kecuali mereka sendiri. Bahkan Belanda pernah melarang budi daya rempah-rempah di luar Maluku.

Hasil bumi penting di belahan barat Kepulauan Nusantara adalah lada. Pelabuhan-pelabuhan utama pengekspor lada terletak di pantai timur Sumatera (Pasai, Pidie, Jambi, Palembang, serta Lampung), pantai barat Sumatera (Pariaman, Tiku, beserta Barus), dan Jawa Barat (Banten).

Selain perdagangan dan pelayaran domestik, hubungan diplomatik dengan luar negeri telah terjalin setidaknya semenjak abad pertama dan kedua Masehi. Hal ini terbukti dari berita China yang mencatat adanya hubungan diplomatik dengan pelbagai kerajaan pada masa itu dan ditemukannya tembikar China di berbagai penjuru Kepulauan Nusantara. Beberapa pelabuhan yang letaknya strategis, seperti Aceh, Banten, dan Demak, makin kaya dan berkembang menjadi kesultanan yang kuat berkat perdagangan ini. Sumatera mengekspor pula hasil-hasilnya, seperti emas, kelembak, kapur, barus, dan lain sebagainya ke Malaka, tetapi para pedagang Gujarat juga datang sendiri membelinya.

Budak termasuk komoditas yang ramai diperdagangkan, mengingat pada saat itu jumlah penduduk belum banyak, sehingga terjadi kelangkaan tenaga kerja. Untuk itulah, budakbudak didatangkan demi menutupi kekurangan tersebut. Budak belian biasa diperkerjakan di istana raja, bangsawan, dan orang kaya. Mereka diperlukan pula sebagai tenaga kerja kasar di pelabuhan atau pendayung kapal perang. Seseorang terjerumus ke dalam perbudakan karena kalah perang atau terjerat hutang. Biasanya terdapat hukum adat yang menyatakan bahwa kedudukan sebagai budak karena terlilit hutang itu sementara saja sifatnya. Jadi, bila telah sanggup melunasi hutangnya, ia harus dibebaskan dari perbudakan; walaupun hal ini merupakan sesuatu yang sulit dan bahkan mustahil. Ada kalanya seseorang dihukum menjadi budak karena melanggar hukum adat. Budak-budak diperoleh pula melalui penyerbuan ke daerah lain dan menawan penduduknya; di mana selanjutnya para tawanan itu dijual sebagai hamba. Daerah penghasil budak yang umum adalah Palembang, pedalaman Jawa Barat, Blambangan, dan Nusatenggara. Kelak dalam menjalankan usahanya, VOC memanfaatkan pula tenaga para budak, seperti di perkebunan pala Banda yang diduduki Belanda semenjak tahun 1621.

Ukiran kapal pada relief Borobudur. Sumber: id.wikipedia.org/

Perkembangan teknologi pelayaran di kalangan rakyat Indonesia telah berlangsung semenjak kurang lebih abad ke-9. Hal ini terbukti dari relief candi Borobudur yang menampilkan gambar berbagai jenis perahu, seperti perahu lesung, perahu bercadik, dan kapal besar yang tak bercadik 5 . Tetapi kemajuan dalam bidang pelayaran ini tidak sama di tiap-tiap bagian Kepulauan Nusantara. Maluku merupakan salah satu kawasan yang maju pelayarannya. Antonio Galvao, wakil Portugis di Maluku, melaporkan pada kurang lebih tahun 1544 mengenai bagaimana cara orang Maluku Utara membuat kapalnya. Bagian tengah kapal bentuknya menyerupai telur dengan kedua ujungnya melengkung ke atas. Oleh karenanya, kapal semacam itu dapat bergerak maju atau mundur. Proses pembuatannya tidak menggunakan paku ataupun dempul, melainkan bagian-bagiannya diikat dengan tali ijuk.

Jenis-jenis kapal lain yang umum di Maluku adalah juanga, lakafunu, kora-kora, dan kalulus. Tetapi yang terpenting di antara semuanya adalah juanga. Konon kapal jenis ini sanggup memuat hingga 200 orang. Menurut laporan Willem Lodwycksz yang turut serta dalam ekspedisi Belanda pimpinan Cornelis de Houtman, orang Banten telah mempunyai kapal perang mirip kapal galai bertiang dua. Beberapa orang Portugis diberitakan telah membocorkan teknik pembuatan kapal model Eropa pada raja-raja setempat.

Hingga saat ini belum dapat dipastikan alat-alat navigasi apa yang dipergunakan para pelaut Indonesia zaman itu. Tidak diketahui apakah mereka telah menggunakan kompas atau belum. Namun, kendati tak menggunakan kompas sekalipun tampaknya hal itu bukan masalah besar bagi mereka. Para pelaut di Kepulauan Nusantara kemungkinan terbiasa berlayar berdasarkan pengalaman atau berpedoman pada bintang-bintang di langit. Pengenalan terhadap alat-alat navigasi kemungkinan terjadi saat perjumpaan dengan pedagang-pedagang Arab dan China yang marak mengunjungi Kepulauan Nusantara semenjak abad ke-9.


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama