![]() |
Museum Samudera Pasai. foto/IStockphoto |
Awal berdirinya Kerajaan Pasai, yang juga dikenal sebagai Samudera Darussalam atau Samudera Pasai, belum diketahui secara pasti dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, dalam sebuah catatan Rihlah ila I-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) dari Ibnu Batutah dapat ditarik kesimpulan bahwa Kerajaan Samudera Pasai berdiri lebih awal dibandingkan dinasti Usmani di Turki yang pernah menjadi salah satu dinasti terbesar di dunia. Jika dinasti Turki Usmani mulai menancapkan kekuasaanya pada tahun 1385 M, maka Kerajaan Samudera Pasai lebih dahulu menebarkan pengaruhnya di Asia Tenggara kira-kira pada tahun 1297.
Catatan Ibnu Batutah tersebut bertuliskan “Sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,” ketika menggambarkan kekagumannya terhadap keindahan dan kemajuan Kerajaan Samudera Pasai yang sempat disinggahinya selama 15 hari pada 1345 M. pendapat bahwa kerajaan Samudra Pasai lebih tua dari dinasti Usmani di Turki dikuatkan dengan catatan dari Marco Polo, seorang penjelajah asal Venezia (Italia), yang telah mengunjungi Samudera Pasai pada 1292 M. Marco Polo bertandang ke Samudera Pasai saat menjadi pemimpin rombongan yang membawa ratu dari Cina ke Persia. Bersama dua ribu orang pengikutnya, Marco Polo singgah dan menetap selama lima bulan di bumi Serambi Makkah itu. Dan perjalanan dari Marco Polo tersebut dituliskan dalam sebuah buku yang berjudul Travel of Marco Polo.
Sejumlah ahli sejarah Eropa pada masa pendudukan Kolonial Hindia Belanda seperti Snouck Hurgronje, J.P Moquette, J.L. Moens, dan J. Hulshof Poll yang sudah beberapa kali menyelidiki asal-usul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai menyebutkan bahwa Kerajaan Samudera Pasai muncul sekitar pertengahan abad ke-13 M dengan Sultan Malik al-Saleh (kadang ditulis Malik Ul Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik Al Salih, atau Malik Ul Saleh) sebagi raja pertamanya.
Nama Samudera Pasai sendiri sebenarnya adalah “Samudera Aca Pasai” yang berarti “Kerajaan Samudera yang baik dengan ibukota di Pasai.” Meski pusat pemerintahan kerajaan itu sekarang tidak diketahui secara pasti, tetapi para ahli sejarah memperkirakan lokasinya berada di sekitar Blang Melayu. Konon, nama “Samudera” yang dipakai sebagai nama kerajaan itulah yang kini menjadi nama pulau Sumatera karena adanya pengaruh dialek oleh orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama pulau tersebut adalah Perca. Berbeda dengan orang Portugis, seperti yang bisa dilihat dalam tulisan-tulisan I’tsing, para pengelana Tiongkok menyebut Sumatera dengan “ChinCou” atau pulau emas. Sementara Raja Kertanegara dari Singosari yang terkenal itu menyebut pulau ini dengan sebutan “Suvarnabhumi” atau “Swarnabumi” yang artinya pulau emas.
Peta Lokasi Kerajaan Aceh |
Kerajaan Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih terletak di kota Lhokseumawe, Aceh Utara. Beberapa kitab atau catatan yang digunakan untuk melacak sejarah Kerajaan Samudera Pasai antara lain adalah Hikayat Raja Pasai, Sejarah Melayu, dan Hikayat Raja Bakoy. Meski nuansa mitos yang masih kental di dalamnya tak jarang menjadi kendala ketika karya ini hendak ditafsirkan, Hikayat Raja Pasai tercatat sudah memberikan andil yang cukup besar dalam menguak riwayat Kesultanan Samudera Pasai.
Sementara terkait penamaan Samudera Pasai, J.L. Moens menyatakan bahwa kata “Pasai” berasal dari kata “Parsi.” Menurut Moens, pada abad ke-7 banyak pedagang yang berasal dari Parsi atau Persia yang mengucapkan kata Pasai dengan kata Pa’ Se . Pendapat J.L Moens ini mendapatkan dukungan dari beberapa peneliti sejarah lainnya, seperti oleh Prof. Gabriel Ferrand melalui bukunya yang berjudul L’Empire Sumatranais de Crivijaya dan oleh Prof. Paul Wheatley dengan buku he Golden Khersonese. Baik Gabriel maupun Paul menyandarkan datadatanya pada keterangan dari para pengelana Timur Tengah yang melakukan perjalanan ke Asia Tenggara. Mereka berdua juga meyakini bahwa pada abad ke-7, pelabuhan atau bandar-bandar besar di Asia Tenggara dan di kawasan Selat Malaka telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Asia Barat. Data tersebut diperkuat oleh fakta bahwa di setiap kota dagang tersebut sudah ada permukiman-permukiman pedagang Islam yang singgah dan menetap di sana.
Di tempat lain, H. Mohammed Said, seorang penulis yang mendedikasikan hidupnya untuk meneliti dan menerbitkan buku-buku perihal Aceh, termasuk meneliti kerajaan Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam, menyatakan bahwa kata “Pasai” dalam Samudera Pasai berasal dari para pedagang Cina. Menurutnya, kata “Po Se” yang populer digunakan pada pertengahan abad ke-8 M identik dengan penyebutan kata “Pase” atau “Pasai”. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa “Pasai” berasal dari kata “Tapasai” yang berarti “tepi laut.” Kata “Tapa” sendiri masih banyak ditemui dalam bahasa Polinesia yang berarti “tepi”, sedangkan kata “Sai” berarti “pantai”. Jadi, baik “Samudera” atau “Pasai” memiliki arti yang hampir sama yaitu “negara yang terletak di tepi laut.”
Seorang pencatat asal Portugis, Tome Pires, yang pernah menetap di Malaka pada kurun waktu 1512-1515, menyebutkan bahwa Pasai adalah kota terpenting untuk seluruh Sumatera pada zamannya. Menurut Pires, penduduk Pasai waktu itu kurang lebih berjumlah 20.000 orang. Sementara itu, Marco Polo dalam lawatannya dari Tiongkok ke Persia pada tahun 1267 M yang kemudian singgah ke Pasai pada tahun 1292 M menuliskan bahwa saat itu sudah ada kerajaan Islam di Nusantara yang tak lain adalah Samudera Pasai.
Kala itu Marco Polo ikut dalam rombongan Italia yang mendapatkan undangan dari Kubilai Khan, raja Mongol yang menguasai daerah Tiongkok. Menurut Marco Polo, penduduk Pasai waktu itu belum banyak yang memeluk Islam, namun komunitas orang-orang Arab atau Saraceen sudah cukup banyak dan berperan penting dalam upaya mengislamkan penduduk Aceh. Marco Polo menyebut daerah tersebut sebagai Giava Minor atau Java Minor (Jawa Kecil).
Sementara itu, dalam “Seminar Sejarah Nasional” yang diselengarakan di Medan, Sumatera Utara pada 17-20 Maret 1963, maupun dalam “Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh” yang diselenggarakan pada 10-16 Juli 1978 di Banda Aceh, yang dihadiri di antaranya adalah Prof. Hamka, Prof A. Hasjmy, Prof H. Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said dan M.D. Mansoer, telah menemukan perbedaan pada cara pandang sejarah berdirinya Kerajaan Samudera Pasai. Berdasarkan petunjuk dan sumber-sumber yang lebih baru, di antaranya dari para musair Arab dan Tiongkok yang pernah ke Asia Tenggara dan ditambah dengan dua catatan lokal, yaitu Idharul Haq Fi Mamlakatil Peureulak karya Abu Ishak Al-Makarany dan Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh karya Yunus Djamil, para pakar sejarah nasional itu menyimpulkan bahwa Kesultanan Samudera Pasai sudah berdiri sejak abad ke-11 (tahun 433 H/1042 M), dengan pendiri dan sultan pertamanya adalah Maharaja Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433-470 H/1042-1078 M.
Menurut G.P. Roufaer, sejarawan Belanda yang serius mendalami sejarah Kerajaan Samudera Pasai, menyimpulkan bahwa letak Pasai mula-mula berada di sebelah kanan Sungai Pasai sementara Samudera berada di sebelah kiri sungai. Kemudian lambat laun kedua tempat tersebut menjadi satu menjadi Samudera Pasai. Jelasnya, Kerajaan Samudera Pasai adalah daerah aliran sungai yang hulunya berada jauh di pedalaman daratan tinggi Gayo, Kabupaten Aceh Tengah.
Ada banyak teori yang berkembang tentang perkiraan asalusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai. Salah satu pendapat menyatakan bahwa Kerajaan Samudera Pasai merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan pra-Islam yang sudah ada sebelumnya. Hal ini seperti tang tertuang dalam buku berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam Di Nusantara karya Slamet Muljana yang menyatakan bahwa Nazimuddin Al-Kamil, Laksamana laut dari Dinasti Fatimiyah di Mesir berhasil menaklukkan kerajaan HinduBuddha yang berada di Aceh dan menguasai salah satu daerah subur yang ada di sana yaitu Pasai. Nazimuddin Al-Kamil kemudian mendirikan kerajaan kecil di Pasai pada tahun 1128 M dengan nama Samudera Pasai.
Alasan Dinasti Fatimiyah melakukan penaklukan terhadap Pasai sendiri adalah karena memang ingin menguasai bandar dagang yang saat itu sangat ramai di Selat Malaka. Bukan hanya itu, Dinasti Fatimiyah juga telah mengerahkan armada perangnya untuk merebut kota Kambayat di Gujarat Arab dan menyerang penghasil lada, yakni Kampar Kanan dan Kampar Kiri di Minangkabau. Dalam ekspedisi tersebut, Nazimuddin Al-Kamil gugur dan kemudian pada tahun 1168 Dinasti Fatimiyah Mesir dikalahkan oleh tentara dari Dinasti Salahuddin yang menganut mazhab Syai’i. Dengan runtuhnya Dinasti Fatimiyah tersebut, maka secara otomatis hubungan antara Samudera Pasai dan Mesir terputus. Kafrawi Al-Kamil kemudian melanjutkan kepemimpinan Nazimuddin Al-Kamil yang telah gugur. Tetapi tahun 1204 M, kekuasaan Samudera Pasai jatuh ke tangan Laksamana Johan Jani dari pulau We. Di bawah kekuasaan Laksamana Johan Jani, kekuasaan Samudera Pasai menjadi kekuatan maritim yang kuat di Nusantara pada masa itu.
Di Mesir sendiri setelah dikuasai oleh Dinasti Salahuddin, muncul Dinasti Mamaluk yang menggantikan Dinasti Fatimiyah. Sama dengan pendahulunya, Dinasti Mamaluk juga berniat menguasai perdagangan di Pasai. Niat tersebut pun dilancarkan dengan mengirim pendakwah yang telah menimba ilmu di Makkah, yaitu Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad yang sebelumnya telah berdakwah di Pantai Barat India. Di Pasai, kedua utusan tersebut bertemu dengan Marah Silu (Meurah Silu) yang saat itu menjadi salah satu anggota angkatan perang Kerajaan Pasai. Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad kemudian berhasil membujuk Marah Silu untuk memeluk Islam dan membuat kerajaan tandingan untuk kerajaan Pasai yang akan dibantu oleh Dinasti Mamaluk di Mesir dan berganti nama menjadi Sultan Malik al-Saleh. Akhirnya Marah Silu dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Samudera yang berada di kiri dari Sungai Pasai dengan letak menghadap ke arah Selat Malaka. Namun demikian, ternyata kedua kerajaan tersebut justru bersatu menjadi Kerajaan Samudera Pasai.
Keislaman Marah Silu juga disinggungkan dalam catatan Hikayat Raja Pasai dengan memberikan penjelasan bahwa Nabi Muhammad Saw. telah menyebutkan nama kerajaan Samudera dan menyuruh agar daerah tersebut diislamkan oleh sahabat Nabi. Dari sini, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan Islam telah masuk ke Nusantara tidak lama setelah Nabi Muhammad wafat yakni (abad pertama Hijriah atau abad ke 7-8 M) atau bahkan muncul kemungkinan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah.
B i n u k o A m a r s e t o Marah Silu adalah keturunan dari suku Imam Empat atau yang lebih dikenal sebagai Sukee Imuem Peuet, yaitu sebuah suku dari Champa yang merupakan pendiri kerajaan-kerajaan di Aceh sebelum berkembangnya agama Islam. Di antara empat kerajaan Hindu-Buddha yang didirikan oleh Sukee Imuem Peuet adalah Peureluak (Perlak) yang terletak di Aceh Timur, Jeumpha (Champa) di Bireun, Kerajaan Sama Indra di Pidie, dan Indra Purba di Aceh Besar/Banda Aceh.
Sultan Malik al-Saleh kemudian menikah dengan putri Ganggang Sari, keturunan Sultan Aladdin Muhammad Amin bin Abdul Kadi dari kerajaan Perlak. Dari pernikahan ini Sultan Malik al-Saleh dikaruniai dua orang putra yaitu Muhammad dan Abdullah. Kelak, Muhammad dipercaya untuk memimpin kerajaan Pasai dengan gelar Sultan Muhammad Malikul Zahir (Sultan Malik al-Tahir), berdampingan dengan ayahnya yang masih memimpin kerajaan Samudera. Sementara Abdullah lebih memilih keluar dari keluarga besar kerajaan Samudera Pasai dan mendirikan kerajaan sendiri yaitu Kerajaan Aru Barumun yang kurang lebih berdiri pada tahun 1295 M.
Menurut sejarah, dalam silsilah kerajaan Pasai terdapat nama Sultanah Nahrasiyah (Nahrisyyah) Malikul Zahir, raja perempuan pertama di kerajaan Islam Nusantara yang bertahta dari tahun 1420 hingga 1428. Sultanah Nahrasiyah memiliki penasehat kontroversial bernama Ariya Bakooy yang bergelar Maharaja Bakooy Ahmad Permala. Ariya Bakooy pernah diperingatkan oleh para ulama agar tidak mengawini puterinya sendiri tapi peringatan itu ditentangnya. Bahkan, karena tidak terima keinginan dirinya ditentang, Ariya Bakooy sampai membunuh 40 ulama. Ariya Bakooy akhirnya tewas di tangan Malik Musthofa yang bergelar Pocut Cindan Simpul Alam, yang tidak lain adalah suami Sultanah Nahrasiyah dengan bantuan Sultan Mahmud Alaiddin Johan Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam (1409-1465).
Sultanah Nahrasiyah dalam catatan sejarah merupakan seorang perempuan muslimah yang berjiwa besar. Hal ini dibuktikan dengan hiasan di makamnya yang dibuat dengan sangat istimewa. Pada nisannya, tertulis nukilan huruf Arab terjemahannya berbunyi: “Inilah kubur wanita bercahaya yang suci, ratu yang terhormat, almarhum yang diampunkan dosanya, Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin, putra Sultan Ahmad, putra Sultan Muhammad, putra Sultan Mailkus Salih. Kepada mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya. Mangkat dengan rahmat Allah pada hari Senin, 17 Zulhijjah 832.”
Berikut ini adalah silsilah Raja-raja Kerajaan Samudera Pasai:
1. Sultan Malik al-Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Mahmud Mahmud (1326-1345 M)
4. Sultan Malikul Mansur
5. Sultan Ahmad Malik al-Zahir (1346-1383 M)
6. Sultan Zain al-Abidin Malik al-Zahir (1383-1405)
7. Sultanah Nahrasiyah (1420-1428)
8. Sultan Sallah al-Din (1402)
9. Sultan Abu Zaid Malik al-Zahir (1455)
10. Sultan Mahmud Malik al-Zahir (1455-1477)
11. Sultan Zain al-Abidin (1477- 1500)
12. Sultan Abdullah Malik al-Zahir (1501-1513)
13. Sultan Zain al-Abidin (1513-1524)
KEHIDUPAN SOSIAL POLITIK
Pada masa Kerajaan Samudera Pasai, para pedagang telah menggunakan ceitis atau mata uang berbentuk uang kecil, sedangkan yang terbuat dari emas disebut dengan dramas (mata uang emas dibuat dari emas sebenarnya tidak murni dari emas semua tetapi terbuat dari serbukan emas dan perak). Jika dibandingkan dengan nilai mata uang portugis crusade, maka perbandingannya adalah 9 dramas = 1 crusade = 500 cash.
Di samping seorang sultan yang menjadi pimpinan kerajaan, ada juga beberapa jabatan dalam kerajaan seperti: Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), Bendahara, Komandan Militer atau Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, Sekretaris Kerajaan, Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan Syahbandar yang mengepalai serta mengawasi pedagang-pedagang asing di kotakota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dengan para pedagang asing. Dalam bidang keagamaan, Ibnu Batutah menceritakan bagaimana taatnya Sultan Samudera Pasai terhadap agama Islam dari madzhab syai’i dan Sultan Samudera Pasai selalu dikelilingi oleh ahli-ahli Islam. Kesultanan Samudera Pasai merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam.
Sebagai sebuah kerajaan besar, Samudera pasai juga menghasilkan banyak karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai yang mana bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360 M. Hikayat Raja Pasai ini juga sekaligus menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara. Bahasa Melayu itu juga yang kemudian digunakan oleh Syaikh Abdurrauf al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.
PERKEMBANGAN DAN MASA KEEMASAN
Pada masa kejayanya, kerajaan Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan Nusantara. Samudera Pasai memiliki banyak bandar yang dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Alasan mengapa Kesultanan Samudera Pasai tergabung dan ikut andil dalam jaringan perdagangan antar bangsa adalah letaknya yang berada di kawasan Selat Malaka yang menjadi jalur perdagangan internasional. Jarak pelayaran yang begitu jauh antara Arab dan Cina menjadikan Kerajaan Samudera Pasai sebagai tempat singgah para pedagang, terlebih karena pelayaran mengharuskan para pedagang menunggu angin musim yang cocok untuk berlayar meneruskan perjalanan.Bersamaan dengan berkembangnya sastra Melayu klasik, di Pasai juga berkembang ilmu tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum karya Maulana Abu Ishak yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu atas permintaan dari Sultan Malaka, Makhdum Patakan. Kitab inilah yang kemudian dijadikan rujukan dalam melihat posisi Kerajaan Samudera Pasai dalam perannya sebagai pusat Tamadun Islam di Asia Tenggara pada masa itu.
Dalam kurun abad ke-13 hingga awal abad ke-16, Pasai merupakan wilayah penghasil rempah-rempah terkemuka di dunia, dengan lada sebagai salah satu komoditas andalannya. Setiap tahunnya, Pasai mampu mengekspor lada dengan produksi yang cukup besar. Tak hanya itu, Pasai juga menjadi produsen komoditas lainnya seperti sutra, kapur barus, dan emas. Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut dirham dan kemudian digunakan secara resmi di kerajaan tersebut.
Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan pusat perkembangan agama Islam. Komposisi masyarakat di Kerajaan Pasai sendiri terbagi dalam beberapa lapis, meliputi Sultan, golongan abdi kerajaan, alim ulama, para pedagang dan hamba sahaya. Pada lapisan abdi kerajaan terbagi lagi menjadi perdana menteri, menteri, tentara, pegawai dan pesuruh. Kendati orang Arab yang tinggal di Pasai tidak sebanyak orang dari India, tapi orang Arab memberikan pengaruh yang sangat kuat ke dalam sistem kerajaan, bahkan dalam menentukan kebijakan sang raja.
Semasa Sultan Malik Al-Saleh menjabat sebagai penguasa pertama kerajaan Pasai, terdapat orang-orang besar di negeri itu, di antaranya adalah Tun Sri Kaya dan Tun Baba Kaya. Kedua orang besar ini juga ikut berperan dalam mengontrol jalannya pemerintahan dengan gelar Sayid Ali Ghitauddin dan Sayid Asmayuddin. Kemajuan Kerajaan Samudera Pasai dapat dilihat dari adanya aktivitas perdagangan yang semakin maju dan ramai ditambah dengan sudah mengenal penggunaan koin emas sebagai alat pembayaran, Ibnu Batutah mengisahkan, setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), ia mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Ibnu Batutah tidak bisa menutupi rasa kagumnya begitu berkeliling kota pusat Kerajaan Pasai. Ia begitu takjub melihat sebuah kota besar yang sangat elok dengan dikelilingi dinding yang megah.
Pergolakan dan Runtuhnya Kerajaan
Kejayaan Kerajaan Samudera Pasai mulai mendapat ancaman dari Kerajaan Majapahit pada saat Gadjah Mada diangkat sebagai patih di Kahuripan pada periode 1319-1321 M oleh Raja Majapahit yang kala itu dijabat oleh Jayanegara dan kemudian naik pangkat menjadi Mahapatih pada 1331 ketika Majapahit dipimpin oleh Ratu Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gadjah Mada menjadi Mahapatih Majapahit inilah keluar ucapannya janjinya yang dikenal dengan Sumpah Palapa, yaitu bahwa Gadjah Mada tidak akan menikmati buah palapa sebelum seluruh Nusantara berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Mahapatih Gadjah Mada rupanya sedikit terusik mendengar kabar tentang kebesaran Kerajaan Samudera Pasai. Majapahit khawatir akan pesatnya kemajuan Kerajaan Samudera Pasai yang memiliki jalur perdagangan strategis di selat Malaka. Karenanya, kemudian Gadjah Mada mulai mempersiapkan rencana untuk menyerang kerajaan Islam di pulau Sumatera tersebut. Desas-desus tentang akan adanya serangan tentara Majapahit, yang menganut agama Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam Samudera Pasai santer terdengar di kalangan rakyat di Aceh.
Armada perang Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gadjah Mada memulai aksinya pada 1350 dengan beberapa tahapan. Serangan pertama Majapahit diarahkan ke perbatasan Perlak tapi mengalami kegagalan karena lokasi itu dikawal ketat oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai.
Gadjah Mada kemudian mundur ke laut dan mencari tempat lapang di pantai timur yang tidak terjaga. Di Sungai Gajah, Gadjah Mada mendaratkan pasukannya dan mendirikan benteng di atas bukit, yang hingga sekarang dikenal dengan nama Bukit Meutan atau Bukit Gadjah Mada. Gadjah Mada kemudian menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan laut dan jurusan darat. Serangan lewat laut dilancarkan ke daerah pesisir di Lhokseumawe dan Jambu Air, sedangkan penyerbuan jalan darat dilakukan lewat Paya Gajah yang terletak di antara daerah Perlak dan Pedawa.
Serangan dari darat tersebut ternyata tidak seperti yang telah direncanakan dan mengalami kegagalan karena dihadang oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Sementara serangan yang dilakukan lewat jalur laut justru bisa mencapai istana.
Penyerangan kerajaan Majapahit atas Samudera Pasai dilataribelakangi oleh faktor politis sekaligus kepentingan ekonomi. Kemajuan perdagangan dengan ramainya bandarbandar yang berada dalam wilayah kerajaan dan kemakmuran rakyat Kerajaaan Samudera Pasai membuat Mahapatih Gadjah Mada berkeinginan untuk merebutnya. Meskipun ekspansi kerajaan Majapahit dalam rangka menguasai wilayah Samudera Pasai telah dilakukan berulangkali tetapi Kesultanan Samudera Pasai masih mampu bertahan, hingga akhirnya perlahan-lahan perlawanan yang diberikan oleh kerajaan Samudera Pasai mulai surut seiring semakin menguatnya pengaruh Majapahit di Selat Malaka.
Runtuhnya kekuatan Kerajaan Pasai sangat berkaitan dengan perkembangan yang terjadi di luar kerajaan Pasai itu sendiri. Munculnya pusat politik dan perdagangan baru di Malaka pada abad ke-15 adalah salah faktor yang menyebabkan Kerajaan Samudera Pasai mengalami kemunduran. Hancur dan hilangnya peranan Pasai dalam jaringan perdagangan antar bangsa bertambah dengan lahirnya suatu pusat kekuasan baru di ujung barat pulau Sumatera yakni Kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke-16.
Pasai ditaklukan dan dimasukkan ke dalam wilayah Kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam oleh Sultan Ali Mughayat Syah dan Lonceng Cakra Donya, hadiah dari Raja Cina untuk Kerajaan Islam Samudera Pasai, dipindahkan ke Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh). Hingga menjelang abad ke-16, Kerajaan Samudera Pasai masih dapat mempertahankan peranannya sebagai bandar yang mempunyai kegiatan perdagangan dengan luar negeri. Para ahli sejarah yang menumpahkan minatnya pada perkembangan ekonomi mencatat bahwa Kerajaan Samudera Pasai pernah menempati kedudukan sebagai sentrum kegiatan dagang internasional di nusantara semenjak peranan Kedah berhasil dipatahkan.
Namun, kemudian peranan Kerajaan Samudera Pasai yang sebelumnya sangat penting dalam arus perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan dunia mengalami kemerosotan dengan munculnya bandar perdagangan Malaka di Semenanjung Melayu. Bandar Malaka segera menjadi primadona dalam bidang perdagangan dan mulai menggeser kedudukan Pasai. Tidak lama setelah Malaka dibangun, kota itu dalam waktu singkat segera dibanjiri perantau-perantau dari Jawa. Akibat kemajuan pesat yang diperoleh Malaka itu, posisi dan peranan Kerajaan Samudera Pasai semakin tersudut, nyaris seluruh kegiatan perniagaannya menjadi kendor dan akhirnya benar-benar patah di tangan Malaka sejak tahun 1450.
Tidak hanya itu, Kesultanan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh berdiri satu lagi kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah peradaban yang besar dan maju. Pemerintahan baru tersebut adalah Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh Darussalam sendiri dibangun di atas puing-puing kerajaankerajaan yang pernah ada di Aceh pada masa pra Islam, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura. Pada 1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai. Akibatnya, pamor kebesaran Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum akhirnya benar-benar runtuh dan berada di bawah kendali kuasa Kesultanan Aceh Darussalam.
0 Komentar