![]() |
Keraton Kasepuhan, salah satu bangunan peninggalan Kesultanan Cirebon.(Holidify) |
Awal Berdirinya
Menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari di daerah Cirebon sebelumnya terdapat enam kerajaan kecil yang disebut nagari, yakni Nagari Surantaka, Singapura, Japura, Wanagiri, Rajagaluh, dan Talaga 24 . Di antara nagari-nagari tersebut yang terbesar adalah Wanagiri; walaupun apabila ditilik pada masa sekarang luasnya hanya mencakup kurang lebih empat kecamatan saja. Kerajaan atau Nagari Surantaka berpusat di desa Keraton sekarang, yakni di Kecamatan Cirebon Utara. Masih menurut Kitab Purwaka Caruban Nagari, penguasanya bernama Ki Gedeng Sidhang Kasih. Konon ia memiliki seorang putri bernama Nyai Ambet Kasih, yang menikah dengan saudara sepupunya bernama Raden Pamanah Rasa. Menurut Babad Siliwangi, Raden Pamanah Rasa ini adalah nama Prabu Siliwangi ketika masih muda. Sebagai hadiah perkawinan ini, Ki Gedeng Sedhang Kasih memberikan kawasan Sindang kasih pada menantu sekaligus kemenakannya itu. Purwaka Caruban Nagari lebih jauh lagi menjelaskan bahwa Nagari Surantaka merupakan bawahan Kerajaan Galuh.
Raden Pamanah Rasa memiliki dua orang istri. Selain Nyai Ambet Kasih, ia menikah pula dengan Nyai Subang Larang, putri mangkubumi atau perdana menteri Kerajaan Singapura bernama Ki Gedeng Tapa. Saat itu, Ki Gedeng Tapa menyelenggarakan pertandingan adu ketangkasan senjata sebagai ajang mencari jodoh bagi putrinya. Ternyata pemenangnya tak lain dan tak bukan adalah Raden Pamanah Rasa.
Nagari Singapura terletak sekitar 4 km sebelah utara Giri Amparan Jati (makam Sunan Gunungjati). Batasnya diperkirakan sebagai berikut: utara berbatasan dengan Surantaka; barat berbatasan dengan Wanagiri; selatan dan timurnya dengan Japura; dan sebelah timurnya dibatasi Laut Jawa. Raja Negeri Singapura adalah Ki Gedeng Surawijaya Sakti, saudara Ki Gedeng Sedhang Kasih, raja Nagari Surantaka. Dalam menjalankan pemerintahannya, ia dibantu oleh mangkubuminya bernama Ki Gedeng Tapa, yang memiliki seorang putri cantik jelita bernama Nyai Subang Larang (lahir 1404). Sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, Nyai Subang Larang kelak bersuamikan Raden Pamanah Rasa.
Pada kurang lebih tahun 1418 datanglah seorang ulama bernama Syeh Hasanudin bin Yusuf Sidik yang berkenalan dengan Ki Gedeng Tapa. Setelah itu, ia bertolak ke Krawang dan mendirikan pesantren di sana. Namanya kemudian dikenal sebagai Syeh Quro. Karena memberikan kesan yang baik, Ki Gedeng Tapa merestui putrinya belajar ilmu agama Islam di pesantren Syeh Quro. Pada 1420 tiba seorang ulama lain dari Bagdad bernama Syeh Datuk Kahfi atau Syeh Idofi dengan disertai dua belas pengikutnya, yang terdiri dari 10 orang pria dan 2 wanita. Syeh Datuk Kahfi diizinkan oleh Ki Gedeng Tapa bermukim dan mendirikan pesantren di Pesambangan. Di masa -masa selanjutnya, Syekh Datuk Kahfi tersohor pula dengan nama Syeh Nurul Jati. Peristiwa kedatangan dua ulama di atas menandai masuknya agama Islam ke Cirebon.
Nagari Japura terletak 17 km sebelah tenggara Giri Amparan Jati, yang kini berada di Kecamatan Astana Japura, Sindanglaut, dan Ciledug. Rajanya bernama Prabu Amuk Marugul. Kerajaan ini ditaklukkan oleh Japura pada kurang lebih tahun 1422. Nagari Wanagiri kini letaknya berada di Kecamatan Palimanan. Nama Wanagiri sendiri hingga saat ini masih ada sebagai nama kampung di Desa Kalangenan, Kecamatan Palimanan 26 . Konon, rajanya bernama Ki Gedeng Kasmaya, kakak Ki Gedeng Surawijaya. Menurut cerita rakyat, ia kerap berada di Cirebon Girang. Oleh karena itu, boleh diperkirakan bahwa raja tersebut kemungkinan mempunyai istana di sana atau hadir ke kawasan tersebut guna mengikuti upacara-upacara keagamaan. Nagari Rajagaluh letaknya sekitar 30 km sebelah barat Giri Amparan Jati atau Muara Jati. Rajanya adalah Prabu Cakraningrat. Nagari Talaga wilayah sebelah utaranya berbatasan dengan Rajagaluh dan sebelah baratnya Sumedang Larang. Berdasarkan penuturan ceritra rakyat, pusat kerajaan Talaga berada di kota kecamatan Talaga sekarang. Konon raja Talaga bernama Prabu Pucukumum.
Pernikahan Raden Pamanah Rasa dengan Nyai Subang Larang membuahkan dua orang putra dan seorang putri. Putra-putranya masing-masing bernama Raden Walangsungsang dan Raja Sangara. Sedangkan putrinya bernama Nyai Lara Santang. Ketika Raden Walangsungsang menginjak usia dewasa, ibunya meninggal dunia dan mengembaralah ia meninggalkan istana. Pertama-tama Raden Walangsungsang singgah di tempat kediaman Ki Gedeng Danuwarsih, seorang pendeta Hindu, guna menuntut ilmu. Tidak lama berselang, adiknya, Nyai Subang Larang, datang menyusulnya. Raden Walangsungsang kemudian dinikahkan dengan putri Ki Gedeng Danuwarsih bernama Nyai Indang Geulis.
Setelah beberapa waktu belajar di bawah bimbingan Ki Gedeng Danuwarsih, Raden Walangsungsang disertai istri dan adiknya meneruskan perjalanannya dan kini menuju pesantren yang diasuh oleh Syekh Datuk Kahfi. Di sanalah beliau menuntut ilmu selama tiga tahun. Setamatnya belajar, Raden Walangsungsang diberi nama baru Ki Samadullah oleh gurunya. Syekh Datuk Kahfi menyarankan agar Raden Walangsungsang membuka negeri baru di tepi pantai sebelah timur Pasambangan, yang masuk dalam wilayah nagari Singapura.
Demikianlah, Raden Walangsungsang membangun perkampungan baru yang kelak dikenal sebagai Tegal Alang-Alang. Sebenarnya kawasan ini telah ada penghuninya yang dipimpin oleh Ki Danusela atau Ki Gedeng Alang-alang, adik Ki Gedeng Danuwarsih. Berkat kedatangan Raden Walangsungsang, tempat pemukiman tersebut semakin berkembang. Berbagai suku bangsa berdatangan ke sana, seperti Sunda, Jawa, Arab, dan China. Oleh karenanya, tempat itu lantas disebut Caruban, yang artinya “campuran.” Raden Walangsungsang kemudian diangkat sebagai pangraksabumi, yakni pemuka masyarakat yang bertugas mengurusi masalah pertanian dan perikanan. Sementara itu, Ki Danusela menjadi kuwu atau kepala kampung itu.
Semasa menduduki jabatan sebagai pangraksabumi ini, Raden Walangsungsang yang telah menganut agama Islam berkesempatan menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sewaktu berada di Mekkah, Raden Walangsungsang tinggal di tempat kediaman Syekh Bayanullah, adik Syekh Datuk Kahfi, dan memperdalam pengetahuan agamanya di bawah bimbingan Syekh Abdul Yazid. Sepulangnya dari ibadah haji ini, Raden Walangsungsang dikenal pula sebagai Haji Abdullah Iman. Dengan giat disebarkannya agama Islam di Cirebon. Nyai Lara Santang turut pula beribadah haji ke Mekkah dan di sana menikah dengan seorang bangsawan Arab bernama Syarif Abdullah dan berputra Syarif Hidayatullah.
Sepeninggal Ki Danusela, Raden Walangsungsang diangkat sebagai penggantinya dan mulai saat itu beliau menyandang gelar Pangeran Cakrabuana. Lama-kelamaan status Caruban ditingkatkan menjadi kerajaan dan disebut Caruban Larang. Dengan cepat Caruban Larang menggeser kedudukan nagari Singapura. Ayah Raden Walangsungsang (Raden Pamanah Rasa) kini telah bergelar Prabu Siliwangi mendengar perihal pendirian kerajaan oleh anaknya yang telah lama menghilang itu dan menganugerahkan gelar Sri Mangana.
Sementara itu, Syarif Hidayatullah telah dewasa dan memperdalam pengetahuan agama Islam dari berbagai guru. Ia kemudian berniat menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa, kampung halaman ibunya. Setibanya di Jawa, Syarif Hidayatullah berguru pada Sunan Ampel yang mengajarkannya berbagai metoda penyiaran agama Islam dan memperkenalkan pada wali-wali lainnya. Setelah itu, barulah Syarif Hidayatullah bertolak ke Caruban Larang. Kedatangan Syarif disambut baik oleh pamannya, Raden Walangsungsang. Ia kemudian ditunjuk sebagai guru agama menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang baru meninggal dunia. Dibangunnya sebuah pesantren di Dukuh Sembung, Pasambangan, yang letaknya agak jauh dari pusat kerajaan.
Syarif Hidayatullah terus mengajar sambil mempelajari adat-istiadat setempat. Namanya kemudian tersohor sebagai Syekh Maulana Jati atau Syekh Jati. Beliau mengajar pula di dukuh Babadan dan menikahi Nyai Babadan, putri Ki Gedeng Babadan, kepala kampung di kawasan tersebut. Malangnya, Nyai Babadan tidak berumur panjang dan meninggal dunia tak berapa lama setelah menikah.
Sepeninggal istri pertamanya, Syarif Hidayatullah pindah ke Pasambangan dan menikah lagi dengan Dewi Pakungwati, putri Pangeran Cakrabuana, atau saudari sepupunya sendiri. Belakangan, beliau menikah pula dengan Nyai Lara Bagdad, putri Abdulrahman al-Bagdady. Pernikahan dengan Nyai Lara Bagdad ini dikaruniai dua orang putra, yakni Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana. Beberapa utusan dari Banten mengunjungi Syarif Hidayatullah dan memintanya mengajarkan agama Islam di sana. Menanggapi permintaan ini, setelah mendapat restu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah atau Syekh Maulana Jati bertolak ke Banten. Di sana beliau menikah lagi dengan Nyai Kawunganten dan dikaruniai seorang putri bernama Ratu Winaon dan putra bernama Pangeran Sabakingkin. Putranya inilah yang kelak menjadi raja pertama Banten bergelar Hasanuddin.
Beberapa waktu lamanya, Syekh Maulana Jati mengajarkan agama Islam di Banten. Suatu ketika datanglah utusan Pangeran Cakrabuana yang memintanya kembali ke Caruban. Pamannya yang sudah lanjut usia itu ingin menobatkan Syekh Maulana Jati sebagai penggantinya dan memajukan Caruban Larang. Demikianlah, pada kurang lebih tahun 1479, Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai penguasa Caruban Larang dengan gelar Tumenggung (Susuhunan) Syarif Hidayatullah. Para wali lain yang mendengar perihal pengangkatan ini menganugerahinya gelar Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda 27 . Pemberian gelar ini menandakan bahwa Syarif Hidayatullah yang kelak juga dikenal sebagai Sunan Gunungjati disejajarkan kedudukannya dengan para wali.
Syekh Maulana Jati mengunjungi Demak atas undangan Raden Patah, sultan Demak, beserta para wali lainnya guna membantu penyelesaian mesjid Demak. Pada kunjungan kali ini, Syekh Maulana Jati menikah lagi dengan Nyai Tepasari, putri Ki Ageng Tepasan, bangsawan Majapahit yang mengabdi pada Raden Patah, dan dikaruniai seorang putri bernama Nyai Ratu Ayu dan putra bernama Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean). Bersama dengan para wali lainnya dibahas pula rencana-rencana pengembangan agama Islam ke Pajajaran, yang penduduk beserta rajanya masih menganut agama Hindu. Waktu itu, Caruban Larang (Cirebon) merupakan vasal Kerajaan Pajajaran yang diperintah oleh Prabu Siliwangi, kakek Syekh Maulana Jati atau Syarif Hidayatullah.
Setibanya kembali di Caruban Larang, Syekh Maulana Jati menolak membayar upeti pada Pajajaran dan menyatakan kemerdekaan negerinya. Tindakan cucunya ini dianggap sebagai pembangkangan yang tak dapat dibiarkan begitu saja oleh Prabu Siliwangi. Pajajaran mengirimkan pasukannya menyerang Caruban Larang di bawah pimpinan Tumenggung Jagabaya. Ternyata pasukan Pajajaran dapat dikalahkan dengan mudah dan Tumenggung Jagabaya berbalik mengabdi pada Syekh Maulana Jati. Ikatan persahabatan dan kekeluargaan dengan Kesultanan Demak makin diperkuat, antara lain melalui perkawinan Pangeran Muhammad Arifin dengan putri Raden Patah, Ratu Nyawa.
Pada 1511, Portugis merebut Malaka dan Demak memutuskan membantu sultan Malaka mengusir Portugis. Suatu ekspedisi militer di bawah pimpinan Dipati Unus dikirimkan ke Malaka, tetapi berhasil dikalahkan oleh armada Portugis pada tahun 1513. Portugis sendiri berupaya memperluas pengaruhnya di seluruh penjuru Nusantara dan menjalin hubungan diplomatik dengan Pajajaran. Bahkan kini mereka diizinkan oleh Pajajaran membangun benteng pertahanan di Sunda Kelapa pada tahun 1522. Oleh karenanya, Demak mempersiapkan armada yang dipimpin Fatahillah atau Faletehan guna menghalau Portugis dari Sunda Kelapa dan mereka tak ketinggalan pula meminta dukungan Cirebon.
Pasukan gabungan Demak dan Cirebon bergerak ke Sunda Kelapa pada tahun 1526. Kini giliran Portugis yang mengalami kekalahan telak sehingga harus hengkang perairan Nusantara. Sebagai peringatan atas kemenangan ini, nama Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta. Portugis terpaksa melarikan diri dari Sunda Kelapa dan tak pernah menginjakkan kakinya lagi di sana. Aliansi Portugis–Pajajaran mengalami kegagalan. Fatahillah yang berjasa memimpin ekspedisi mengalahkan Portugis dinikahkan dengan putri Syekh Maulana Jati bernama Nyai Ratu Ayu. Pernikahan mereka membuahkan seorang putri bernama Nyai Mas Wanawati Raras dan putra bernama Pangeran Sedang Garuda.
Kini, Syekh Maulana Jati menyatukan berbagai nagari yang ada di sekitarnya. Satu per satu nagari yang masih berdaulat ditaklukkan dan digabungkan dengan Cirebon. Perlahan tapi pasti Cirebon tumbuh menjadi negara besar. Setelah bertahuntahun berjuang memajukan negerinya, Syekh Maulana Jati mangkat pada 1568. Konon sewaktu meninggal dunia beliau berusia 120 tahun. Pangeran Pasarean berputra Pangeran Swarga yang menikah dengan Nyai Mas Wanawati Raras, putri Fatahillah. Putra mereka yang bernama Pangeran Emas diangkat sebagia penguasa Cirebon menggantikan Syekh Maulana Jati. Gelarnya adalah Panembahan Ratu I (1568–1649).
Perkembangan dan Perpecahan Cirebon
Pangeran Emas mewarisi kemajuan Cirebon yang telah dirintis oleh Syekh Maulana Jati. Cirebon telah menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi kaum pedagang baik dari dalam maupun luar negeri. Kendati demikian, pada zamannya Banten semakin menanjak pamornya; apalagi setelah Maulana Yusuf (± 1570–1580) berhasil menaklukkan Pajajaran. Akibatnya, Cirebon merosot pamornya dibanding Banten. Panembahan Ratu atau Pangeran Emas menikah dengan putri sultan Pajang. Inilah yang memicu kecurigaan Maulana Yusuf terhadap Panembahan Ratu. Raja Banten itu khawatir apabila Pajang memanfaatkan Cirebon sebagai batu loncatan menguasai seluruh Jawa Barat. Meskipun terjadi sikap curiga mencurigai antara Banten dan Cirebon, raja Banten masih bersedia menghormati Cirebon, karena merupakan negeri asal-muasal leluhurnya. Selain itu, Cirebon dianggap sebagai perintis penyiaran agama Islam di Jawa Barat.
Kesultanan Pajang tidak panjang usianya, karena kekuasaan tak lama kemudian beralih ke tangan Mataram yang dipimpin oleh Panembahan Senopati (1586–1601). Kendati merupakan menantu sultan Pajang, Panembahan Ratu I tidak menerapkan politik permusuhan pada Panembahan Senopati yang telah menggulingkan mertuanya. Cirebon justru menjalin persekutuan yang erat dengan Mataram. Bahkan, Panembahan Senopati membantu pembangunan tembok benteng di Cirebon pada 1590 28 . Hubungan kekerabatan antara dua kerajaan diperkokoh melalui perkawinan Sultan Agung, cucu Panembahan Senopati, dengan seorang putri Cirebon.
Panembahan Emas wafat pada 1649 dan digantikan oleh cucunya bernama Pangeran Karim yang bergelar Panembahan Ratu II. Karena beliau kelak ditawan oleh Mataram dan dimakamkan di bukit Girilaya, namanya dikenal pula sebagai Pangeran Girilaya. Ia menikahi putri Amangkurat I, yakni raja Mataram yang menggantikan Sultan Agung. Pernikahan Pangeran Girilaya dengan putri Mataram ini membuahkan tiga orang putra, yakni Pangeran Martawijaya, Pangeran Kartawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. Oleh karena pernikahan-pernikahan yang kerap terjadi antara keluarga kerajaan Cirebon dan Mataram inilah, semenjak tahun 1615 pengaruh Mataram di Cirebon makin menguat. Bahkan, menurut F. de. Haan, Cirebon harus menyerahkan wilayahnya di sebelah barat Sungai Cimanuk pada Mataram 29 . Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa Cirebon telah menjadi vasal Mataram dan mulai diwajibkan menyerahkan upeti.
Para penguasa Cirebon hanya dianggap sebagai raja-raja keagamaan saja, mengingat mereka merupakan keturunan Syarif Hidayat (Sunan Gunungjati). Pada mulanya mereka belum menyandang gelar sultan dan hanya pangeran atau panembahan saja. Baru pada tahun 1662, Cirebon meluaskan daerah kekuasaannya ketika terjadi peperangan antara Galuh dan Telaga. Ketika Sultan Agung menyerang Batavia, tempat bercokolnya VOC, Cirebon dijadikan pangkalan militer terpenting Mataram pada tahun 1628 karena letaknya yang strategis.
Bertolak belakang dengan ayahnya, Sultan Agung yang anti-Belanda, Amangkurat I malah menjalin persahabatan dengan VOC. Padahal, jelas-jelas VOC hendak melemahkan Mataram. Amangkurat I kerap melakukan tindakan semena-mena sehingga menjadi penguasa yang tidak populer di mata rakyatnya. Waktu itu timbul perseteruan dengan Banten yang semenjak zaman Sultan Agung dianggap penghalang cita-cita Mataram menguasai seluruh Pulau Jawa. Karena khawatir Cirebon jatuh ke dalam pengaruh Banten, Amangkurat I berencana menaklukkan Cirebon dengan tipu muslihat yang sangat licik. Ia mengundang menantunya dan sekaligus raja Cirebon, Pangeran Girilaya, ke Mataram pada kurang lebih tahun 1666 atau 1667. Ternyata setibanya di sana, Pangeran Girilaya beserta kedua orang anaknya–Pangeran Martawijaya dan Kartawijaya–malah ditawan. Demi mengisi kekosongan kekuasaan di Cirebon, Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat Pangeran Wangsakerta sebagai pejabat raja Cirebon. Selanjutnya, Cirebon menjadi daerah protektorat Banten.
Pangeran Girilaya wafat sebagai tawanan dan putranya, Pangeran Martawijaya beserta Kartawijaya diharuskan tinggal di Mataram sebagai sandera. Amangkurat I menyangka bahwa tindakan liciknya itu akan mengakhiri eksistensi Cirebon selamalamanya. Sejarah membuktikan bahwa dugaannya itu keliru. Kedua orang pangeran ini bersimpati pada Trunajaya yang berontak melawan Amangkurat I. Dengan dukungan sultan Banten, Trunajaya membebaskan kedua orang pangeran itu dan membawa mereka ke Banten. Ternyata baik Pangeran Martawijaya maupun Kartawijaya samasama ingin menjadi sultan. Berkat bantuan Banten beserta Trunajaya mereka berhasil meraih kekuasaan lagi atas Cirebon dan sepakat membagi negeri mereka menjadi dua, sehingga pecahlah Cirebon. Banten menganugerahi kedua pangeran itu gelar sultan pada tahun 1678. Pangeran Martawijaya kemudian dikenal sebagai Sultan Sepuh Syamsuddin, sedangkan saudaranya–Pangeran Kartawijaya bergelar Sultan Anom I Muhammad Badruddin.
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, ketika kedua orang kakaknya diharuskan tinggal di Mataram sebagai tawanan, Pangeran Wangsakerta telah bertindak selaku pelaksana sultan Cirebon dengan gelar Panembahan Tohpati. Kini Pangeran Wangsakerta diangkat pula sebagai sultan Kacerbonan. Belakangan salah satu putra Sultan Anom I Muhammad Badruddin mendirikan Kaprabonan. Dengan demikian, terpecahlah Cirebon menjadi empat, yakni Kasepuhan, Kanoman, Kacerbonan, dan Kaprabonan.
Penobatan sultan-sultan Cirebon ini tampaknya dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten sebagai balas jasa atas dukungan yang diberikan Cirebon terhadap negerinya. Selain itu, Sultan Ageng Tirtayasa hendak memperlihatkan bahwa Banten merupakan pelindung bagi Cirebon 30 . Ini merupakan sesuatu yang rumit, karena Mataram menganggap pula Cirebon sebagai vasalnya. Panembahan Tohpati yang menjadi sultan Kacerbonan akhirnya hanya dianggap sebagai pembantu kakakkakaknya saja. Karena itu, kini tinggal dua kesultanan saja yang benar-benar memiliki kekuasaan teritorial beserta politik.
VOC mengirimkan pasukannya menyerang Cirebon agar negeri tersebut tidak membantu Mataram. Pada Januari 1681 31 , Kasepuhan dan Kanoman dipaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda, yang isinya menyatakan bahwa kedua kerajaan di Cirebon itu akan menjadi sekutu setia VOC. Ini menandakan bahwa Cirebon telah jatuh ke tangan Belanda; kendati Mataram tetap menganggapnya sebagai salah satu vasal atau daerah taklukan mereka. Baru pada 1705, dalam perjanjian dengan Pakubuwono I, diakui bahwa Cirebon terlepas dari Mataram.
0 Komentar