Kerajaan Banten dari Awal Berdiri sampai Runtuhnya

Keraton Kaibon. Sumber: mediabudayaindonesia.com

Banten secara geograis terletak di bagian paling barat dari pulau Jawa, Banten memiliki luas sekitar 114 mil persegi. Kerajaan Banten menjadi penguasa jalur pelayaran dan perdagangan yang melalui Selat Sunda. Dengan posisi yang strategis ini Kerajaan Banten berkembang menjadi kerajaan besar di Pulau Jawa dan bahkan menjadi saingan berat bagi VOC di Batavia pada masanya. Dalam catatan sejarah Kesultanan banten didirikan pada tahun 1520 oleh pendatang-pendatang dari kerajaan Demak di Jawa tengah, Kerajaan Banten daerah kekuasaanya meliputi wilayahwilayah dari daerah pegunungan Banten, bagian barat Bogor dan Jakarta hingga Lampung di sumatera bagian Selatan. Daerah yang oleh pelawat-pelawat Portugis dinamakan Sunda Bantam sejak zaman dulu merupakan sebuah pusat perdagangan lada, Sunda Bantam mulai mengalami kemajuan pesat setalah Malaka direbut oleh orang-orang Portugis. Perpindahan bandar utama menjadi lebih menjorok kedalam menjadi berada di Banten karena Banten berada di pinggir laut dan dalam jalur perdangan, belum lagi bahwa Banten juga daerah yang juga menghasilkan rempah-rempah. 

Dalam sebuah tulisan Sunda kuno, cerita Parahiyangan, disebut-sebut nama Wahanten Girang. Nama ini kemudian dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan di ujung barat pantai utara Jawa. Tetapi dalam sebuah catatan lain yaitu Tambo Tulangbawang, Primbon Bayah, dan berita Cina,dulu daerah Banten orang menyebutnya dengan nama Medanggili. Sebutan ini setidaknya berlaku hingga abad ke-13. Sementara itu, sumber yang berasal dari Cina yang berjudul Shung Peng Hsiang Sung, yang diperkirakan ditulis tahun 1430, memberitakan bahwa Banten merupakan suatu tempat yang berada dalam beberapa rute pelayaran Mao’Kun sekitar tahun 1421. Rute pelayaran yang dilakukan oleh Mao’Kun adalah Tanjung Sekong-Gresik-Jaratan; Banten-Timor; Banten Demak; Banten-Banjarmasing; Kreug (Aceh)-Barus-Pariaman-Banten. Sementara dalam buku Ying-Yai-She-Lan (1433) Banten disebut Shut’a yang sangat dekat pelafalannya dengan Sunda. Buku ini merupakan laporan ekspedisi dari Laksamana Cheng Ho dan Ma Huan ke beberapa tempat di Pulau Jawa.

Didukung tambahan adanya sumber dari orang Eropa yang diambil dari catatan laporan perjalanan Tome Pires (1513), Banten digambarkannya sebagai sebuah kota pelabuhan yang ramai dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Catatan itu menjelaskan juga bahwa Banten terletak di sebuah teluk dan muara sungai sehingga menjadi sebuah kota niaga yang baik.Kota ini dikepalai oleh seorang syahbandar dan wilayah niaganya tidak hanya menjangkau Sumatera melainkan juga sampai di Kepulauan Maldwipa. Barang dagangan utama yang diekspor dari pelabuhan ini ialah lada, beras, dan berbagai jenis makanan lainnya. 

Selain dari sumber asing, ada juga sumber lokal yang menyebut-nyebut Banten. Carita Parahiyangan yang ditulis pada tahun 1518 menyebutkan adanya sebuah tempat yang bernama Wahanten Girang yang terletak agak ke pedalaman. Wahanten Girang dapat dihubungkan dengan nama Banten, bahkan oleh sebagian orang nama kota ini dipandang sebagai kata asal bagi nama Banten. Dalam Purwaka Caruban Nagari, dijelaskan bahwa Syarif Hidayatullah beserta 98 orang muridnya dari Cirebon, berusaha mengislamkan penduduk di Banten. Dengan kesabaran danketekunan, banyaklah yang mengikuti jejak Syarif Hidayatullah. Bahkan akhirnya Bupati Banten dansebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam. 

Pada pertengahan abad ke-16, Banten bukan hanya menjadi pelabuhan dagang saja, melainkan juga telah tumbuh sebagai pusat kekuasaan (kerajaan).  Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad. Menurut Babad Pajajaran, proses awal masuknya Islam di Banten mulai ketika Prabu Siliwangi, salah seorang raja Pajajaran, sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. 

Untuk mencari keterangan tentang arti cahaya itu, ia mengutus Prabu Kian Santang, penasihat kerajaan Pajajaran, untuk mencari berita mengenai hal ini. Akhirnya Prabu Kian Santang sampai ke Mekah. Di sana ia memperoleh berita bahwa cahaya yang dimaksud adalah nur Islam dan cahaya kenabian. Ia kemudian memeluk agama Islam dan kembali ke Pajajaran untuk menyebarkan luaskan agama Islam ke masyarakat. Upaya yang dilakukan Kian Santang hanya berhasil mengislamkan sebagian masyarakat, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya, Pajajaran menjadi berantakan. Legenda yang dituturkan dalam Babad Pajajaran ini merupakan sebuah releksi akan adanya pergeseran kekuasaan dari raja pra-Islam kepada penguasa baru Islam. 

Sumber lain menyebutkan bahwa ketika Raden Trenggono dinobatkan sebagai sultan Demak yang ketiga (1524) dengan gelar Sultan Trenggono, ia semakin gigih berupaya menghancurkan Portugis di Nusantara. Di lain pihak, Pajajaran justru menjalin perjanjian persahabatan dengan Portugis sehingga mendorong hasrat Sultan Trenggono untuk segera menghancurkan Pajajaran. Untuk itu, ia menugaskan Fatahillah, panglima perang Demak, menyerbu Banten (bagian dari wilayah Pajajaran) bersama dua ribu pasukannya. 

Dalam perjalanan menuju Banten, mereka singgah untuk menemui mertuanya, Syarif Hidayatullah, di Cirebon. Pasukan Demak dan pasukan Cirebon bergabung menuju Banten di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang. Sementara itu, di Banten sendiri terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin melawan penguasa Pajajaran. Gabungan pasukan Demak dengan Cirebon bersama lascar marinir Maulana Hasanuddin tidak banyak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Dengan demikian, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah berhasil merebut Banten dari Pajajaran. 

Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten Girang dipindahkan ke Surosowan, dekat pantai. Dilihat dari sudut ekonomi dan politik, pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir Sumatra sebelah barat melalui Selat Sunda dan Selat Malaka. Situasi ini berkaitan pula dengan situasi dan kondisi politik di Asia Tenggara. Pada masa itu, Malaka telah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga pedagang-pedagang yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke Selat Sunda. Sejak saat itulah semakin ramai kapal-kapal dagang mengunjungi Banten. Kota Surosowan (Banten Lor) didirikan sebagai ibu kota Kesultanan Banten atas petunjuk Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi sultan Banten yang pertama. Atas petunjuk Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai bupati Kadipaten Banten. Pada tahun 1552 Kadipaten Banten diubah menjadi negara bagian Demak dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultannya. 

Ketika Kesultanan Demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten menjadi negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak. Sultan Maulana Hasanuddin memerintah Banten selama 18 tahun (1552-1570). Ia telah memberikan andil terbesarnya dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara sebagai salah seorang pendiri Kesultanan Banten. Hal ini telah dibuktikan dengan kehadiran bangunan berupa masjid dan sarana pendidikan islam seperti pesantren. Di samping itu, ia juga mengirim mubaligh ke berbagai daerah yang telah dikuasainya. Usaha yang telah dirintis oleh Sultan Maulana Hasanuddin dalam menyebarluaskan Islam dan membangun Kesultanan Banten kemudian dilanjutkan oleh sultan-sultan berikutnya. 

Kesultanan Banten berdiri dengan ditopang oleh dua unsur utama, yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Kekuatan politik yang menjadi tonggak  berdirnya Kesultanan Banten juga masih terbagi atas tiga kekuatan utama yaitu adanya kerajaan Demak, Cirebon, dan Banten itu sendiri dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah, dan Maulana Hasanuddin sebagai pelopornya. 

Perintisan kerajaan Banten diawali dengan kegiatan dakwah/ penyebaran agama Islam, kemudian berkembang dengan pembentukkan kelompok-kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer (1526), dan akhirnya berlanjut kearah penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri yang diberi nama Kerajaan Banten. 

Kekuatan kedua yang menjadi pondasi kelahiran Kerajaan Banten yaitu para pedagang muslim, baik para pedagang setempat maupun para pedagang yang berasal dari daerah lainnya. Kenyataan ini didukung oleh suatu kenyataan bahwa sejak awal abad ke-15 Masehi di pesisir utara teluk Banten telah tumbuh kantong-kantong permukiman orang muslim yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai pedagang.

Kesultanan Banten pada masa kejayanya menguasai daerah yang meliputi Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tangerang. Banten mempunyai arti dan peranan yang penting dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Nusantara sejak abad ke-16 sampai abad ke-19, khususnya di daerah Jawa Barat, Jakarta, Lampung, dan Sumatra Selatan. Posisi kota Banten yang terletak di pesisir Selat Sunda dan merupakan pintu gerbang lalu lintas menuju pulau Sumatra ataupun pulau Jawa dinilai sangat strategis untuk menarik perhatian penguasa di Demak untuk menguasainya. Pada tahun 1525-1526 Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati berhasil menguasai Banten. Penguasaan dari Demak yang merupakan kerajaan Islam inilah yang menjadikan Banten tumbuh menjadi kerajaan Islam pula di tanah Jawa. 

Sebelum Banten berwujud sebagai suatu kesultanan Islam, wilayah ini termasuk bagian dari kerajaan Sunda (Pajajaran) dengan Agama resmi kerajaan ketika itu adalah agama Hindu. Pada awal abad ke-16, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang (Banten Hulu). Surosowan (Banten Lor) hanya berfungsi sebagai pelabuhan. Menurut berita Joade Barros (1516), salah seorang pelaut Portugis, di antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian lada dan hasil negeri lainnya di ekspor.

Oleh karena itu, Banten pada masa lalu adalah potret sebuah kota metropolitan dan menjadi pusat perkembangan pemerintahan pada Abad 16. Disamping itu keberadaan kesultanan Banten pada masa lalu dapat dilihat dari peninggalan sejarah seperti Masjid Agung Banten yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin. Seperti masjidmasjid lainnya, bangunan masjid ini pun berdenah segi empat, namun kelihatan antik dan unik. Bila diamati secara jelas, arsitekturnya merupakan perpaduan antara arsitektur asing dan Jawa. 

Hal ini dapat dilihat dari tiang penyangga bangunan yang jumlahnya empat buah di bagian tengah, mimbar kuno yang berukir indah, atap masjid yang terbuat dari genteng tanah liat, melingkar berbetuk bujur sangkar yang disebut kubah berupa atap tumpang bertingkat lima. Di dalam serambi kiri yang terletak di sebelah utara masjid terdapat makam beberapa sultan Banten beserta keluarga dan kerabatnya. 

Di halaman selatan masjid terdapat bangunan Tiamah, merupakan bangunan tambahan yang didirikan oleh Hendrik Lucasz Cardeel, dia adalah seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memeluk agama Islam dengan gelar Pangeran Wiraguna. Pada masa pemerintahan kerajaan Banten, gedung Tiamah ini digunakan sebagai majelis taklim serta tempat para ulama dan umara Banten mendiskusikan soal-soal agama. Sekarang gedung tersebut telah beralih fungsi sebagai tempat penyimpanan benda-benda purbakala. Selain bangunan Tiamah, peninggalan kerajaan Banten dapat ditemukan di Kasunyatan, peninggalan tersebut adalah Masjid Kasunyatan yang umurnya diperkirakan lebih tua dari Masjid Agung Banten sendiri. Di masjid inilah tinggal dan mengajar Kiai Dukuh yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan, ulama yang menjadi guru Maulana Yusuf, sultan Banten yang kedua. 

Gambar. Masjid Agung Banten. Sumber: ikons.id/

Bangunan lain yang menunjukkan kebesaran dari Kesultanan Banten masa lampau adalah bekas Keraton Surosowan atau gedung kedaton Pakuwan. Keraton Surosowan ini letaknya berdekatan dengan Masjid Agung Banten. Sekarang keraton Surosowan hanya tinggal puing-puing bangunan saja dengan dikelilingi oleh tembok- tembok yang tebal, luas Keraton Surosowan itu sendiri kurang lebih mencapai 4 hektar, berbentuk empat persegi panjang. Benteng Keraton Surosowan tersebut sekarang masih tegak berdiri, meskipun beberapa bagian kecil ada yang telah runtuh. Dalam situs (lahan) kepurbakalaan Banten masih banyak bangunan atau situs yang menjadi bukti kekuasaan dari kerajaan Banten, antara lain Menara Banten, Masjid Pacinan, Benteng Speelwijk, Meriam Kiamuk, Watu Gilang dan pelabuhan perahu Karangantu.

Perkembangan Kehidupan Sosial Kerajaan Banten 

Pemerintahan Banten di Jawa Barat menggunakan aturan dan hukum Islam, sehingga kehidupan masyarakatnya hidup secara teratur. Banyak orang India, Arab, Cina, Melayu dan Jawa yang menetap di Banten. Mereka berkumpul dan membuat perkampungan sesuai dengan nama asalnya, misalnya Pekojan (perkampungan orang Arab), Pecinan (perkampungan orang Cina), Kampung Melayu, Kampung Jawa dan sebagainya. 

Di Banten terdapat orang keturunan Madura. Mereka adalah pelarian dari Madura yang meminta perlindungan ke Banten karena tidak mau tunduk kepada Mataram. Kerajaan Banten merupakan salah satu kerajaan Islam di Pulau Jawa selain Kerajaan Demak, Kasepuhan Cirebon, Giri Kedaton, dan Mataram Islam. Kehidupan sosial rakyat Banten berlandaskan ajaran-ajaran yang berlaku dalam agama Islam. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, kehidupan sosial masyarakat Banten semakin meningkat dengan pesat karena sultan memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Usaha yang ditempuh oleh Sultan Ageng Tirtayasa adalah menerapkan sistem perdagangan bebas dan mengusir VOC dari Batavia.

Menurut catatan sejarah Banten, Sultan Banten termasuk keturunan Nabi Muhammad SAW sehingga agama Islam benarbenar menjadi pedoman hidup rakyat. Meskipun agama Islam mempengaruhi sebagian besar kehidupan Kesultanan Banten, namun penduduk Banten telah menjalankan praktek toleransi terhadap keberadaan pemeluk agama lain. Hal ini dibuktikan dengan dibangunnya sebuah klenteng di pelabuhan Banten pada tahun 1673.

Perkembangan Kehidupan Politik 

Kerajaan Banten pada tahun 1524 wilayah Banten berhasil dikuasai oleh Kerajaan Demak di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah. Pada waktu Demak terjadi perebutan kekuasaan, Banten melepaskan diri dan tumbuh menjadi kerajaan besar. Setelah itu, kekuasaan Banten diserahkan kepada Sultan Hasanudin, putra Syarif Hidayatullah. Sultan Hasanudin dianggap sebagai peletak dasar Kerajaan Banten. Banten semakin maju di bawah pemerintahan Sultan Hasanudin karena didukung oleh faktor-faktor berikut ini: 

  1. Letak Banten yang strategis terutama setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, Banten menjadi bandar utama karena dilalui jalur perdagangan laut. 
  2. Banten menghasilkan rempah-rempah lada yang menjadi perdagangan utama bangsa Eropa menuju Asia.

Banten pun secara tak langsung berada di bawah kekuasaan Demak. Semasa Sunan Gunung Jati, Banten masih termasuk kekuasaan Demak. Pada tahun 1552, ia pulang ke Cirebon dan Banten diserahkan kepada anaknya, Maulana Hasanuddin. Sumber lain mengatakan bahwa pendiri Banten adalah Fatahillah (Faletehan menurut catatan Tome Pires) atau Fadhilah Khan atau Nurullah yang berasal dari Pasai. Ia merupakan panglima perang Demak dan juga menantu Sunan Gunung Jati. Keadaan Demak yang goncang karena adanya perebutan kekuasaan, mendorong Banten pada 1522 memutuskan untuk melepaskan diri. Dengan demikian, Hasanuddin adalah pendiri dan peletak cikal-bakal kerajaan Banten. Hasanuddin dinikahkan dengan putri Sultan Trenggana. 

Hasanuddin memerintah selama 18 tahun, yaitu hingga tahun 1570. Ia digantikan Sultan Panembahan Maulana Yusuf. Ia sangat memperhatikan perkembangan perdagangan dan pertanian. Ia juga giat menyebarkan ajaran Islam. Pada masa pemerintahannya, tahun 1579 Banten berhasil menaklukkan Pakuan Pajajaran dan menyebarkan Islam lebih luas lagi di Jawa Barat. Panembahan Yusuf wafat karena sakit pada tahun 1580 setelah memerintah selama 10 tahun. Hasanuddin memiliki satu putra lagi, yaitu Pangeran Jepara. Pangeran Jepara menikah dengan putri penguasa Jepara, Ratu Kali Nyamat dan menjadi pengganti penguasa Jepara. Setelah Maulana Yusuf wafat tahun 1580, kekuasaan diberikan kepada Maulana Muhammad. Karena masih berumur sembilan tahun, maka yang menjalankan roda pemerintahan untuk sementara adalah Pangeran Arya Jepara, paman Maulana Muhammad. Setelah dewasa Maulana Muhammad resmi memerintah Banten dengan gelar Kanjeng Ratu Banten. 

Semasa pemerintahannya, Banten menyerang Palembang yang akan dijadikannya batu loncatan untuk menguasai Selat Malaka. Serangan itu gagal dan Maulana Muhammad tewas dalam pertempuran pada tahun 1596. Kemudian, yang menjadi sultan Banten berturut-turut adalah Abu Ma’ali dan Abdul Qadir. Pada tahun 1638, Raja Abdul Qadir mendapatkan gelar “Sultan” dari Syarif Mekah. Gelar lengkapnya adalah Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Qadir. Gelar ini diperoleh setelah Abdul Qadir mengirim utusan ke Mekah. Sebagai tanda gelar tersebut telah diterima olehnya, Sultan Abdul Qadir mendapatkan “bendera dan pakaian suci”. 

Pada setiap hari raya Maulid Nabi, pemberian dari Syarif Mekah ini selalu diarak berkeliling Banten. Pada tahun 1651 Abdul Qadir mangkat dan tahta Banten diduduki oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Tirtayasa dan ayahnya begitu menyenangi ilmu pengetahuan. Keduanya sering mengirimkan pertanyaan kepada ulama terkemuka saat itu, di antaranya Nuruddin arRaniri di Aceh dan Syekh Yusuf dari Makassar. Para ulama ini biasanya kemudian menulis kitab-kitab khusus sebagai jawaban pertanyaan para sultan itu. Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Hal-hal yang dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa terhadap kemajuan Kerajaan Banten adalah sebagai berikut:

1. Memajukan wilayah perdagangan. Wilayah perdagangan Banten berkembang sampai ke bagian selatan Pulau Sumatera dan sebagian wilayah Pulau Kalimantan. 

2. Banten dijadikan sebagai tempat perdagangan internasional yang mempertemukan pedagang lokal dengan para pedagang asing dari Eropa. 

3. Memajukan pendidikan dan kebudayaan Islam sehingga banyak murid yang belajar agama Islam ke Banten. 

4. Melakukan modernisasi bangunan keraton dengan bantuan arsitektur Lucas Cardeel. Sejumlah situs bersejarah peninggalan Kerajaan Banten dapat kita saksikan hingga sekarang di wilayah Pantai Teluk Banten. 

5. Membangun armada laut untuk melindungi perdagangan. Kekuatan ekonomi Banten didukung oleh pasukan tempur laut untuk menghadapi serangan dari kerajaan lain di Nusantara dan serangan pasukan asing dari Eropa. 

Sultan Ageng Tirtayasa merupakan salah satu raja yang gigih menentang pendudukan VOC di Indonesia. Kekuatan politik dan angkatan perang Banten maju pesat di bawah kepemimpinan nya. Namun akhirnya VOC menjalankan politik adu domba antara Sultan Ageng dan putranya, Sultan Haji. Berkat politik adu domba tersebut Sultan Ageng Tirtayasa kemudian berhasil ditangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga wafat pada tahun 1629 Masehi.

Berikut ini daftar penguasa Kesultanan Banten menurut catatan sejarah Wikipedia: 1. Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin memerintah pada tahun 1552 – 1570 2. Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan memerintah pada tahun 1570 – 1585 3. Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana memerintah pada tahun 1585 – 1596 4. Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu memerintah pada tahun 1596 – 1647 5. Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad memerintah pada tahun 1647 – 1651 6. Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah memerintah pada tahun 1651-1682 7. Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar memerintah pada tahun 1683 – 1687 8. Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya memerintah pada tahun 1687 – 1690 9. Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin memerintah pada tahun 1690 – 1733 10. Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Ariin memerintah pada tahun 1733 – 1747 11. Ratu Syarifah Fatimah memerintah pada tahun 1747 – 1750 12. Sultan Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri memerintah pada tahun 1753 – 1773 13. Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin memerintah pada tahun 1773 – 1799 14. Sultan Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin me me rintah pada tahun 1799 – 1803 15. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin memerintah pada tahun 1803 – 1808 16. Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin memerintah pada tahun 1809 – 1813

Perkembangan Agama Islam 

Kerajaan Banten Banten adalah salah satu pusat perkembangan Islam, karena Banten mempunyai peranan penting dalam tumbuh dan berkembangnya Islam, khususnya di daerah Jakarta dan Jawa Barat. Dikarenakan letak geograisnya yang sangat strategis sebagai kota pelabuhan. Di Banten telah berdiri satu kerajaan Islam yang lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten. Sebelum Agama Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi ketika agama Hindu berkembang di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan purbakala dalam bentuk prasasti arca-arca yang bersifat Hiduistik dan banguan keagamaan lainnya. Sumber naskah kuno dari masa pra Islam menyebutkan tentang kehidupan masyarakat yang menganut Hindu. Sekitar permulaan abad ke 16, di daerah pesisir Banten sudah ada sekelompok masyarakat yang menganut agama Islam. Penyebarannya dilakukan oleh salah seorang pemimpin Islam yang dikenal sebagai wali berasal dari Cirebon yakni Sunan Gunung Jati dan kemudian dilanjutkan oleh putranya Maulana Hasanudidin untuk menyebarkan secara perlahan-lahan ajaran agama Islam di Banten. 

Perkembangan Dan Masa Keemasan 

Kerajaan Banten Pada abad ke-17 ini, Belanda telah menguasai beberapa daerah kerajaan besar seperti: Mataram, Maluku, Batavia dan Makasar. Sedangkan dalam bidang ekonomi, Belanda telah memegang monopoli perdagangan rempah-rempah secara luas, bahkan Belanda pun berhasil memperoleh monopoli di Sumatera Tengah yakni di Palembang (1642) dan Jambi (1643). Di pihak lain, rakyat nusantara sebagian besar berada dalam kemiskinan dan penindasan akibat keserakahan Belanda ini. Setelah Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir wafat, Pangeran Adipati Anom dinobatkan menjadi Sultan Banten ke-5 pada tanggal 10 Maret 1651. Untuk memperlancar sistem pemerintahannya Sultan mengangkat beberapa orang yang dianggap cakap sebagai pembantunya. Jabatan Patih atau Mangkubumi dipercayakan kepada Pangeran Mandura dan wakilnya Tubagus Wiratmaja, sebagai Kadhi atau Hakim Agung diserahkan kepada Pangeran Jayasentika, tapi karena Pangeran Jayasentika meninggal tidak lama setelah pengangkatan itu dalam perjalanan menunaikan ibadah haji, maka jabatan Kadhi diserahkan kepada Entol Kawista yang kemudian dikenal dengan nama Faqih Najmuddin. 

Pangeran Mandura dan Pangeran Jayasentika adalah Putra Sultan ‘Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir, jadi masih terhitung paman, sedangkan Faqih Najmuddin adalah menantu Sultan Abulmufakhir yang menikah dengan Ratu Lor. Untuk memudahkan pengawasan daerah-daerah yang tersebar luas seperti Lampung, Solebar, Bengkulu, dan lainnya, diangkatlah ponggawa-ponggawa dan nayaka-nayaka di bawah pengawasan dan tanggung jawab Mangkubumi. Dalam waktu tertentu nayaka-nayaka ini diharuskan datang ke Banten dan berkumpul di kediaman Mangkubumi di Kemuning, di seberang sungai, untuk melaporkan keadaan daerahnya masing-masing. 

Biasanya setelah itu para ponggawa dan nayaka ini dibawa menghadap Sultan di istana Surosowan, untuk menerima petunjuk-petunjuk dan pesan-pesan yang harus disampaikan kepada rakyat di daerahnya masing-masing. Di Mangkubumi Pangeran Mandura diserahi tugas mengatur dan mengawasi kesejahteraan prajurit karajaan, baik tentang perumahannya di Kanari maupun tentang persenjataannya. Rumah-rumah senopati dan ponggawa ditempatkan sedemikian rupa sehingga, di samping mereka dapat cepat mengetahui keadaan prajuritprajuritnya, tetapi dengan mudah mereka pun dapat segera menerima instruksi sultan. 

Memang Pangeran Surya yang bergelar Pangeran Ratu Ing Banten adalah seorang ahli strategi perang yang dapat diandalkan. Hal ini dibuktikan sewaktu masih menjabat Putra Mahkota, Pangeran Surya-lah yang mengatur gerilya terhadap pendudukan Belanda di Batavia. Seperti juga kakeknya, Pangeran Ratu tidaklah melepaskan jalur hubungan dengan kekhalifahan Islam yang berpusat di Mekah, yang biasanya dilakukan sambil menunaikan ibadah haji. 

Persiapan untuk mengadakan pertemuan dengan pusat kekhalifahan di Mekah itu, Sultan mengadakan musyawarah dengan beberapa pembesar kerajaan yang antara lain: Pangeran Mandura, Pangeran Mangunjaya dan Mas Dipaningrat; yang selanjutnya diputuskan supaya Santri Betot beserta tujuh orang lainnya diutus ke Mekah. Delegasi ini ditugaskan untuk melaporkan penggantian Sultan di Banten, juga menceritakan keadaan nusantara dan Kesultanan Banten khususnya dalam hubungannya dengan kompeni Belanda. Di samping itu pula, untuk memperdalam pengetahuan rakyat Banten kepada agama Islam, dimintakan supaya Khalifah mengirimkan guru agama ke Banten. 

Setiba kembali utusan ini dari Mekah, Khalifah Makkah menyampaikan sepucuk surat untuk Sultan bersama tiga orang utusan yang bernama Sayid Ali, Abdunnabi, dan Haji Salim. Dari khalifah Mekah pula Pangeran Ratu Ing Banten mendapat gelar Sultan ‘Abulfath Abdulfattah. Santri Betot kemudian diberi nama Haji Fattah dan mendapat hadiah-hadiah dari sultan, demikian juga ketujuh orang pengiringnya. 

Dalam masalah politik kenegaraan, Sultan ‘Abulfath Abdulfattah dengan tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Mengembalikan Jayakarta ke pangkuan Banten merupakan cita-cita utama dan karenanya Sultan tidak akan pernah mau berbaikan dengan kompeni Belanda. Sultan melihat bahwa perjanjian damai antara Sultan Abulmufakhir dengan kompeni pada tahun 1645 sudah tidak lagi dipatuhi kompeni. Kompeni Belanda masih selalu mencegat kapal-kapal dagang asing yang hendak berlabuh dan mengadakan transaksi dagang di bandar Banten, sehingga pelabuhan Banten mengalami banyak penurunan, karena pedagang-pedagang asing segan berlabuh di Banten takut diserang kapal-kapal kompeni, baik waktu datang maupun setelah mereka meninggalkan Banten.

Kemunduran dan Keruntuhan Banten 

Sultan Haji digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdu’l Fadhl Muhammad Yahya (1687–1690). Tidak seperti ayahnya, ia merupakan seorang penentang Belanda. Masa pemerintahannya tidak panjang dan hanya berlangsung selama tiga tahun saja. Ia dikebumikan di samping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean Sedakingking. Kendati tak lama memerintah, ia berusaha menata kembali pemerintahan kesultanan yang dirasanya telah porak-poranda.

Karena tidak mempunyai putra, sultan digantikan oleh adiknya yang bergelar Abdu’l Mahasin Muhammad Zainul Abidin (1690–1733). Catatan sejarah memperlihatkan kemewahan saat penobatannya. Dentuman meriam berkali-kali ditembakkan dari Istana Surosowan, benteng Speelwijk, dan kapal-kapal kompeni yang berlabuh di Teluk Banten. Tembakan meriam Belanda ini menandakan pengakuan kompeni bagi kekuasaan sultan. Selain itu, juga memperlihatkan pulihnya hubungan baik antara kedua pihak, yang sebelumnya kerap dilanda perselisihan. Diberitakan pula bahwa hadirin yang datang memperoleh hadiah sesuai dengan jabatannya. Seorang pangeran memperoleh 1 Real Spanyol, Kyai Arya 0,75 Real Spanyol, sedangkan Ngabehi 0,5 Real Spanyol. Hadiah ini menunjukkan jalinan hubungan antara sultan dengan bawahannya, di mana ia memerlukan layanan dan kesetiaan mereka. Sementara itu, rakyat biasa memperoleh hadiah sepotong kecil benang perak. Kaum bangsawan dan penghuni istana mengenakan baju yang sangat mewah. Istana Surosowan dihias dengan kain sutera aneka warna. Utusan-utusan yang berasal dari berbagai daerah taklukan Banten juga datang menghaturkan sembah.

Sultan Banten berikutnya merupakan putra kedua Zainul Abidin dan naik takhta dengan gelar Abdulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin (1733–1747). Ia sangat dipengaruhi oleh permaisurinya yang bernama Ratu Syarifat Fatimah. Semasa pemerintahannya kerap terjadi pemberontakan rakyat Banten, karena mereka dipaksa oleh kompeni menanam tebu, kopi, dan komoditas lainnya yang sanggup mendatangkan keuntungan bagi perusahaan dagang tersebut. Kemudian, komoditas yang ditanam rakyat itu dibeli dengan harga yang ditentukan secara sepihak oleh Belanda. Karena fitnahan permaisurinya, sultan diasingkan ke Ambon oleh VOC. Sebagai penggantinya diangkat putra Ratu Fatimah dengan suaminya terdahulu, seorang letnan Melayu dari Batavia. Gelar bagi sultan baru ini adalah Sultan Syarifuddin Ratu Wakil (1747–1750). Meski secara teoritis ia merupakan penguasa tertinggi Banten, tetapi kendali pemerintahan berada di tangan Ratu Fatimah. Kesultanan kembali dirudung pemberontakan rakyat, yang antara lain dipimpin oleh Ki (Kyai) Tapa dan Ratu Bagus Buang, karena rakyat tidak menyukai ratu tersebut. Para pemuka istana sendiri kurang puas dengan gaya kepemimpinan ratu yang jarang melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan 21 . Guna memadamkan pemberontakan ini, Belanda mengasingkan Ratu Fatimah ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda serta mengangkat adik Sultan Zainul Arifin, yang bernama Pangeran Arya Adisantika sebagai penguasa baru dengan gelar Sultan Abdulma’ali Muhammad Wasi’Zainul ‘Alimin (1750–1753). Peristiwa ini menandakan kemunduran kekuasaan para sultan Banten, karena pengangkatan dan pemberhentian sultan kini diatur oleh Belanda. 

Tentu saja, seperti di bagian Kepulauan Nusantara lainnya, sultan baru yang diangkat oleh Belanda diharuskan menandatangani suatu kontrak politik, tetapi isinya sangat merugikan pihak kesultanan. Pergolakan di kalangan rakyat masih terus saja berlanjut. Dengan harapan agar kerusuhan cepat berakhir, Belanda memberhentikan Sultan Zainul ‘Alimin dan mengangkat Pangeran Gusti, putra tertua Sultan Zainul Arifin yang sebelumnya diasingkan ke Srilanka, sebagai sultan baru dengan gelar Sultan Abdu’l Nasr Muhammad Arif Zainul Asiqin (1753–1773). Setelah sultan wafat, putranya naik takhta dengan gelar Sultan Abdu’l Mafakhir Muhammad Aliuddin (Aliuddin I, 1773–1799). Ia digantikan oleh adiknya yang bernama Pangeran Muhidin dengan gelar Sultan Sultan Abdu’l Muhammad Muhidin Zainussolihin (1799–1801). Sultan ini tidak lama memerintah dan dibunuh oleh pengawalnya yang bernama Tubagus Ali. Peristiwa yang baru saja disebutkan mencerminkan adanya intrik dalam Kesultanan Banten. Secara perekonomian, Banten telah mengalami kemunduran drastis dan berada di ambang kehancuran. 

Penguasa berikutnya, Sultan Abdu’l Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (18011802), putra Sultan Aliudin dari seorang selir, hanya sempat berkuasa selama satu tahun. Ia wafat setahun setelah dinobatkan. Penggantinya, Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802–1803), juga memerintah selama setahun saja. Meskipun demikian, ia dinobatkan dalam suasana yang penuh kemegahan. Perayaan dilangsungkan selama berhari-hari dan dentuman meriam terdengar setiap hari, baik dari kapal perang Belanda, benteng Speelwijk, maupun Istana Surosowan sebagai tanda penghormatan. Saat tibanya hari penobatan, panji-panji serta bendera nampak berkibar di mana-mana. Di perkampungan China juga dikibarkan bendera-bendera negerinya dan terdengar pula alunan alat musik-musik tradisionalnya. Musik Eropa dan tradisional dimainkan demi memeriahkan acara ini. Sultan juga membagi-bagikan hadiah berupa uang bagi para prajurit yang hadir. Secara ringkas, perayaan ini tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tetapi Kesultanan Banten yang sedang menjelang ajalnya ini tetap berniat menampilkan sisa kejayaan mereka. Sementara itu, pihak Belanda juga memanfaatkan kesempatan ini sebagai ajang unjuk kekuatan. Dentuman meriam yang tiada habis-habisnya itu dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa Belanda memiliki banyak amunisi dan kekuatan militer yang hebat. Fakta sejarah membuktikan bahwa inilah upacara besar terakhir yang dilaksanakan Kesultanan Banten. 

Takhta Kesultanan Banten selanjutnya diduduki oleh putra kedua Sultan Aliuddin yang naik takhta dengan gelar Sultan Aliuddin II (1803–1808). Ia berselisih paham dengan Gubernur Jenderal Herman William Daendels. Akibatnya Belanda menyerang Keraton Surosowan dan menangkap serta mengasingkan sultan ke Ambon. Belanda lalu mengangkat Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808–1809) sebagai penggantinya. Saat itu, kekuasaan sultan boleh dikatakan telah terhapuskan. Wilayahnya langsung diperintah oleh Belanda dan sultan mendapatkan gaji sebesar 15.000 Real per tahunnya. Kesultanan Banten boleh dikatakan telah berakhir. Kendati demikian, rakyat yang merasa tidak puas dengan kenyataan ini kerap menimbulkan gangguan keamanan terhadap Belanda sehingga mereka mencurigai bahwa ini semua didalangi oleh Kesultanan Banten. Belanda lantas menangkap Sultan Aliyuddin dan memenjarakannya di Jakarta. Bahkan, tindakan ini belum dirasa cukup sehingga Belanda juga meluluh-lantakkan Istana Surosowan. 

Kerabat kesultanan yang masih hidup lalu menyingkir ke Istana Kaibon yang terletak 1 kilometer di sebelah selatan Surosowan. Sebagai sultan baru diangkatlah Muhammad Syafiudin (1809–1832), yang sebenarnya hanya berlaku sebagai kepala keluarga kesultanan saja dan tanpa kekuasaan politis sama sekali. Ketika Inggris berkuasa di Indonesia antara tahun 1811–1816, mereka memaksa sultan turun takhta dan menyerahkan negerinya pada pihak Inggris. Ini merupakan penghapusan secara resmi Kesultanan Banten. Kendati demikian, ia masih boleh menyandang gelar sultan dan memperoleh tunjangan 10.000 Ringgit Spanyol per tahun dari pihak Inggris. Kesultanan hanya tinggal namanya saja. Pada 1832, Belanda mengasingkan Sultan Syafiudin ke Surabaya.



Post Navi

Posting Komentar

0 Komentar