Sejarah Berdirinya Kerajaan Banten
![]() |
Gambar. Masjid Agung Banten. Sumber: id.wikipedia.org |
Kerajaan Banten didirikan pada tahun 1520 oleh pendatang dari Kerajaan Demak. Kerajaan Banten menguasai jalur pelayaran dan perdagangan di Selat Sunda, menjadi saingan VOC. Daerah kekuasaannya meliputi pegunungan Banten, barat Bogor dan Jakarta, hingga Lampung.
Bandar utama Kerajaan Banten dipindahkan ke Banten karena lokasinya di pinggir laut dan jalur perdagangan. Dalam tulisan Sunda kuno, Banten disebut Wahanten Girang, namun dalam catatan lain disebut Medanggili hingga abad ke-13. Banten disebut Shut’a dalam buku Ying-Yai-She-Lan (1433), laporan ekspedisi Laksamana Cheng Ho.
Tome Pires (1513) menggambarkan Banten sebagai kota pelabuhan ramai di bawah Kerajaan Sunda. Carita Parahiyangan (1518) menyebut Wahanten Girang, yang dihubungkan dengan nama Banten. Pada pertengahan abad ke-16, Banten menjadi pusat kekuasaan (kerajaan) dan mengalami masa keemasan selama tiga abad.
Babad Pajajaran menceritakan Prabu Kian Santang menyebarkan Islam setelah melihat cahaya di langit dan pergi ke Mekah. Sultan Trenggono menugaskan Fatahillah menyerbu Banten (bagian dari Pajajaran) karena Pajajaran bersekutu dengan Portugis. Pada tahun 1526, Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah merebut Banten dari Pajajaran.
Pendirian Kesultanan Banten
Pusat pemerintahan dipindahkan dari Banten Girang ke Surosowan untuk memudahkan hubungan dengan pesisir Sumatra. Sejak Malaka jatuh ke Portugis, pedagang mengalihkan jalur perdagangan ke Selat Sunda, membuat Banten ramai dikunjungi kapal dagang. Maulana Hasanuddin diangkat sebagai bupati Kadipaten Banten pada tahun 1526 atas petunjuk Sultan Demak.
Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten sebagai negara merdeka pada tahun 1568 setelah runtuhnya Kesultanan Demak. Kesultanan Banten ditopang oleh kekuatan politik (Demak, Cirebon, Banten) dan kekuatan ekonomi (pedagang muslim). Perintisan Kerajaan Banten diawali dengan dakwah Islam, pembentukan kelompok muslim, dan penguasaan daerah secara militer.
Kesultanan Banten menguasai Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tangerang, berperan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Letak Banten di Selat Sunda strategis, menarik perhatian penguasa Demak untuk menguasainya. Sebelum menjadi kesultanan Islam, Banten bagian dari Kerajaan Sunda (Pajajaran) dengan agama Hindu sebagai agama resmi.
Peninggalan Sejarah Banten
Banten adalah kota metropolitan pada abad ke-16, dengan peninggalan sejarah seperti:
1. Masjid Agung Banten.
Masjid Agung Banten memiliki arsitektur perpaduan antara asing dan Jawa, dengan makam sultan dan keluarga di serambi kiri. Bangunan Tiamah, didirikan oleh Hendrik Lucasz Cardeel, digunakan sebagai majelis taklim dan tempat diskusi agama.
2. Keraton Surosowan
![]() |
Mengulik Sejarah Keraton Surosowan: Jejak Kebesaran Kesultanan Banten!-net:foto- |
Keraton Surosowan kini hanya puing-puing dengan tembok tebal, luasnya sekitar 4 hektar. Situs kepurbakalaan Banten meliputi Menara Banten, Masjid Pacinan, Benteng Speelwijk, Meriam Kiamuk, Watu Gilang, dan pelabuhan Karangantu. Situs-situs ini menjadi bukti kekuasaan dari Kerajaan Banten.
Perkembangan Kehidupan Sosial Kerajaan Banten
Pemerintahan Banten menggunakan aturan dan hukum Islam, menciptakan kehidupan masyarakat yang teratur. Orang India, Arab, Cina, Melayu, dan Jawa menetap di Banten, membentuk perkampungan sesuai asal mereka. Kehidupan sosial rakyat Banten berlandaskan ajaran Islam, dan pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, kesejahteraan rakyat meningkat pesat.
Sultan Banten dianggap keturunan Nabi Muhammad SAW, menjadikan Islam sebagai pedoman hidup rakyat. Masyarakat Banten menjalankan toleransi terhadap agama lain, dibuktikan dengan pembangunan klenteng di pelabuhan Banten pada 1673. Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, diterapkan sistem perdagangan bebas dan VOC diusir dari Batavia.
Perkembangan Politik dan Tokoh Pendiri
Pada tahun 1524, Banten dikuasai oleh Kerajaan Demak di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah. Banten melepaskan diri saat terjadi perebutan kekuasaan di Demak dan kemudian menjadi kerajaan besar. Sultan Hasanudin, putra Syarif Hidayatullah, dianggap sebagai peletak dasar Kerajaan Banten.
1. Kemajuan Banten di Bawah Sultan Hasanudin
Letak Banten yang strategis setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis menjadikannya bandar utama perdagangan laut. Banten menghasilkan rempah-rempah lada yang menjadi perdagangan utama bangsa Eropa. Hasanuddin dinikahkan dengan putri Sultan Trenggana dan memerintah selama 18 tahun hingga 1570.
2. Sultan Panembahan Maulana Yusuf
Sultan Panembahan Maulana Yusuf menggantikan Hasanuddin, fokus pada perdagangan, pertanian, dan penyebaran Islam. Pada masa pemerintahannya, Banten berhasil menaklukkan Pakuan Pajajaran pada tahun 1579. Setelah Maulana Yusuf wafat pada tahun 1580, kekuasaan diberikan kepada Maulana Muhammad.
3. Pemerintahan Maulana Muhammad dan Abdul Qadir
Maulana Muhammad memerintah setelah dewasa dengan gelar Kanjeng Ratu Banten, menyerang Palembang namun gagal dan tewas (1596). Abdul Qadir mendapatkan gelar "Sultan" dari Syarif Mekah pada tahun 1638, menjadi Sultan Abu al-Mafakhir Abdul Qadir. Gelar ini diperoleh setelah mengirim utusan ke Mekah dan menerima "bendera dan pakaian suci".
4. Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa naik tahta pada tahun 1651 setelah Abdul Qadir mangkat. Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Tirtayasa dan ayahnya menyenangi ilmu pengetahuan, mengirim pertanyaan ke ulama terkemuka.
Kemajuan Kerajaan Banten di Bawah Sultan Ageng Tirtayasa
Wilayah perdagangan Banten berkembang hingga Sumatera Selatan dan Kalimantan. Banten menjadi tempat perdagangan internasional, mempertemukan pedagang lokal dan Eropa. Pendidikan dan kebudayaan Islam maju pesat, dan keraton dimodernisasi dengan bantuan Lucas Cardeel.
Armada laut dibangun untuk melindungi perdagangan, menghadapi serangan kerajaan lain dan pasukan asing. Sultan Ageng Tirtayasa menentang pendudukan VOC, namun VOC menjalankan politik adu domba antara Sultan Ageng dan putranya, Sultan Haji. Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga wafat pada tahun 1629 Masehi.
Daftar Penguasa Kesultanan Banten
- Maulana Hasanuddin memerintah (1552-1570).
- Maulana Yusuf memerintah
(1570-1585).
- Maulana Muhammad memerintah
(1585-1596).
- Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir memerintah (1596-1647).
- Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad
memerintah (1647-1651).
- Daftar penguasa berlanjut hingga Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin (1809-1813).
Perkembangan Agama Islam dan Pemerintahan Kerajaan Banten
Banten adalah pusat perkembangan Islam, penting dalam pertumbuhan Islam di Jakarta dan Jawa Barat. Sebelum Islam, masyarakat Banten mengikuti tradisi prasejarah dan Hindu, dibuktikan dengan peninggalan purbakala. Pada awal abad ke-16, sekelompok masyarakat di pesisir Banten menganut Islam, disebarkan oleh Sunan Gunung Jati dan Maulana Hasanudidin.
Pada abad ke-17, Belanda menguasai Mataram, Maluku, Batavia, dan Makasar, memonopoli perdagangan rempah-rempah. Rakyat Nusantara mengalami kemiskinan dan penindasan akibat keserakahan Belanda. Pangeran Adipati Anom dinobatkan menjadi Sultan Banten ke-5 pada tahun 1651 setelah Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdul Kadir wafat.
Sultan mengangkat pembantu cakap: Pangeran Mandura (Patih), Tubagus Wiratmaja (wakil), Pangeran Jayasentika (Kadhi). Pengawasan daerah seperti Lampung, Solebar, Bengkulu dilakukan oleh ponggawa dan nayaka di bawah Mangkubumi. Nayaka melapor ke Mangkubumi di Kemuning dan menghadap Sultan di istana Surosowan.
Peran Pangeran Mandura dan Strategi Perang
- Pangeran Mandura mengatur kesejahteraan prajurit dan persenjataan.
- Rumah senopati dan ponggawa diatur agar cepat mengetahui keadaan prajurit dan menerima instruksi sultan.
- Pangeran Surya ahli strategi perang, mengatur gerilya terhadap Belanda di Batavia.
Sultan mengadakan musyawarah dengan pembesar kerajaan (Pangeran Mandura, Pangeran Mangunjaya, Mas Dipaningrat) untuk persiapan pertemuan dengan pusat kekhalifahan di Mekah. Santri Betot dan tujuh orang diutus ke Mekah melaporkan penggantian Sultan dan keadaan Kesultanan Banten. Khalifah Mekah mengirim surat untuk Sultan dan tiga utusan (Sayid Ali, Abdunnabi, Haji Salim), Pangeran Ratu Ing Banten mendapat gelar Sultan ‘Abulfath Abdulfattah.
Politik Kenegaraan dan Penentangan Penjajahan
- Sultan ‘Abulfath Abdulfattah menentang penjajahan asing, bercita-cita mengembalikan Jayakarta.
- Sultan melihat perjanjian damai tahun 1645 tidak dipatuhi, kompeni mencegat kapal dagang asing.
- Sultan memerintahkan perusuhan pada instalasi kompeni dan memperkuat pasukan di Tangerang dan Angke.
Konfrontasi dengan Kompeni Belanda
Pada tahun 1652, pasukan Banten menyerang Batavia. Kompeni mengirim utusan menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645, namun ditolak Sultan. Banten bertekad meleyapkan penjajah Belanda apapun risikonya.
Pada tahun 1656, pasukan Banten mengadakan gerilya besar-besaran, merusak kebun tebu, membunuh serdadu Belanda. Perahu Banten mencegat kapal kompeni, membunuh tentara Belanda, merampas senjata dan kapal. Sultan ‘Abulfath memperkuat pertahanan, menjalin hubungan dengan Cirebon, Mataram, Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark.
Pasukan perang kompeni diperkuat dengan serdadu sewaan dari berbagai daerah. Penjagaan dan benteng diperkuat di perbatasan Angke, Pesing, Tangerang. Karena kompeni sibuk berperang dengan Makasar, mereka tidak bisa banyak menyiapkan pasukan.
Setelah beberapa kali pertempuran yang merugikan kedua belah pihak, pada November dan Desember 1657, Kompeni mengajukan usul gencatan senjata. Tanggal 29 April 1658, utusan Belanda datang ke Banten membawa surat dari Gubernur Jendral Kompeni berisi rangcangan perjanjian persahabatan. Usul perdamaian ini terdiri dari 10 pasal.
Isi Usulan Perjanjian Kompeni
- Kedua belah pihak harus mengembalikan tawanan perang.
- Banten harus membayar kerugian perang berupa 500 ekor kerbau dan 1500 ekor sapi.
- Blokade Belanda atas Banten akan dihentikan setelah Sultan Banten menyerahkan pampasan perang
- Kantor perwakilan Belanda di Banten harus diperbaiki atas biaya dari Banten.
- Sultan Banten harus menjamin keamanan dan kemerdekaan perwakilan kompeni di Banten.
- Kapal kompeni yang datang ke pelabuhan Banten dibebaskan dari bea masuk dan bea keluar.
Sultan melihat kecurangan dalam rancangan perjanjian kompeni, yang hanya menguntungkan kompeni. Sultan mengirim utusan ke Batavia (4 Mei 1658) mengajukan perubahan atas rancangan perjanjian. Rakyat Banten dibolehkan membeli senjata di Batavia setahun sekali dan berdagang di Ambon dan Perak tanpa pajak.
Usul Sultan ditolak kompeni, yang hanya ingin orang Banten membeli rempah-rempah dengan harga yang ditentukan. Penolakan ini membuat Sultan sadar bahwa tidak mungkin ada persesuaian pendapat dengan kompeni. Pada tanggal 11 Mei 1658, Sultan menyatakan bahwa Banten dan kompeni Belanda tidak akan mungkin bisa berdamai, mengumumkan "perang sabil".
Pergolakan dan Keruntuhan Kerajaan Banten
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, konflik Banten dengan VOC memuncak. Sultan Ageng Tirtayasa gagal mengajak Mataram menghadapi VOC karena Sunan Amangkurat II menandatangani perjanjian yang merugikan Mataram. Banten mengalami perpecahan internal, VOC menghasut Sultan Haji untuk merebut tahta.
Sultan Haji bersekongkol dengan VOC untuk merebut tahta kekuasaan Banten. VOC mengajukan empat syarat: Banten menyerahkan Cirebon, VOC memonopoli perdagangan lada, Banten membayar 600.000 ringgit jika ingkar janji, pasukan Banten ditarik dari Priangan. Sultan Haji menerima persyaratan tersebut karena dijanjikan tahta Kesultanan Banten.
Pada tahun 1681, dengan bantuan VOC, Sultan Haji melakukan kudeta dan menguasai Istana Surosowan. Pada tanggal 27 Pebruari 1682, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa mengepung Sultan Haji dan VOC di Istana Surosowan. Serangan itu berhasil menguasai kembali Istana Surosowan, dan Sultan Haji dibawa ke loji VOC.
Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa dan Bantuan VOC
Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa menyerang loji VOC, namun dilawan oleh pasukan Sultan Haji dan VOC. Bantuan militer dari Batavia tidak dapat mendarat, namun setelah VOC diberi izin monopoli perdagangan, bantuan memasuki Banten (7 April 1682). Pasukan VOC menyerang Keraton Surosowan dan Keraton Tirtayasa serta berhasil membebaskan loji VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa terus melawan dengan bantuan orang Makassar, Bali, dan Melayu. Markas besar pasukan di Margasama diperkuat oleh 600-800 prajurit, Pangeran Yogya mempertahankan Kenari, Kyai Arya Jungpati mempertahankan Kartasana. Sekitar 400 orang mempertahankan Serang, Jambangan, Tirtayasa, dan Bojonglopang.
Serangan VOC mendesak barisan Banten, Margasana, Kacirebonan, dan Tangerang dikuasai. Sultan Ageng mundur ke Tirtayasa yang dijadikan pusat pertahanan, Tanara dan Pontang diperkuat. Kademangan jatuh pada 2 Desember 1682 setelah pertempuran sengit.
Serangan umum VOC dimulai dari daerah pantai menuju Tanara dan Tangkurak. Pada 28 Desember 1682, pasukan VOC menyerang Pontang, Tanara, dan Tirtayasa, membakarnya. Sultan Ageng Tirtayasa menyelamatkan diri ke pedalaman, Pangeran Arya Purbaya juga lolos.
VOC membujuk Sultan Ageng Tirtayasa untuk berhenti melawan dan turun ke Banten. Sultan Haji menjemput ayahnya, namun Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga meninggal (1692). Penangkapan ini mengakhiri peperangan Banten melawan VOC.
Penobatan Sultan Haji dan Persyaratan VOC
Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten (1682-1687) dengan restu VOC, namun Kesultanan Banten tidak lagi memiliki kedaulatan. Persyaratan dituangkan dalam perjanjian 17 April 1684. Semua pasal dalam perjanjian 10 Juli 1659 diperbaharui, dan Sultan Banten tidak boleh membantu musuh VOC.
Orang Banten dilarang ke daerah Jakarta, begitu juga sebaliknya, kecuali dengan izin. Batas daerah kekuasaan adalah Sungai Untung Jawa (Cisadane) dari pantai laut hingga pegunungan, tanah di sepanjang sungai menjadi milik VOC. Kapal VOC atau Banten yang terdampar harus mendapat pertolongan.
Kerugian dan kerusakan sejak perjanjian 1659 harus diganti oleh Sultan sebesar 12.000 ringgit kepada VOC. Tentara, pembunuh, atau pelanggar hukum VOC yang datang ke Banten akan ditahan dan diserahkan kepada perwakilan VOC. Banten tidak merupakan satu-satunya penguasa terhadap Cirebon, kekuasaan raja-raja Cirebon dapat ditinjau kembali.
VOC tidak perlu memberikan sewa tanah atau rumah untuk loji. Sultan tidak boleh mengadakan perjanjian dengan kekuatan lain karena bertentangan dengan isi perjanjian. Perjanjian harus tetap terpelihara, diterima oleh Sultan Abdul Kahar Abu Nasr dan keturunannya.
Perjanjian ditandatangani oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara, dan Pangeran Natawijaya (Banten). Dari pihak Belanda ditandatangani oleh Komandan Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuere, serta kapten Melayu Wan Abdul Bagus. Perjanjian meniadakan kedaulatan Banten karena segala urusan harus atas persetujuan VOC.
VOC mulai menguasai Kesultanan Banten, mendirikan benteng pertahanan pada 1684-1685. Banten sebagai pusat perniagaan antarbangsa menjadi tertutup, tidak ada kebebasan perdagangan tanpa izin VOC. Rakyat menderita karena pembersihan pengikut Sultan Ageng Tirtayasa, pajak tinggi, dan monopoli perdagangan VOC.
Pemberontakan dan Kematian Sultan Haji
Pada masa pemerintahan Sultan Haji, banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan. Sultan Haji jatuh sakit dan meninggal pada tahun 1687 karena tekanan dari VOC. Setelah Sultan Haji meninggal, terjadi perebutan kekuasaan, Pangeran Ratu diangkat menjadi Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Sultan Abu’l Fadhl membenci Belanda, namun meninggal setelah tiga tahun memerintah. Karena Sultan Abu’l Fadhl tidak memiliki anak, tahta diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abu’l Mahasin Muhammad Zainul Abidin (1690-1733). Sultan Zainul Abidin digantikan oleh putranya Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Ariin (1733-1747).
Pada masa Sultan Zainul Ariin sering terjadi pemberontakan rakyat yang tidak senang dengan perlakuan VOC. Awal abad ke-18, VOC mengubah politik pengelolaan daerah, monopoli rempah-rempah dianggap tidak menguntungkan. VOC mengalihkan usaha dengan menanam tebu dan kopi yang hasilnya harus dijual kepada VOC dengan harga yang telah ditetapkan.
VOC membutuhkan tanah luas dan tenaga kerja murah untuk penanaman tebu dan kopi, menaklukkan daerah pedalaman. Rakyat dipaksa menanam tebu atau kopi yang hasilnya harus dijual kepada raja, yang kemudian menjualnya kepada VOC. Terjadi keributan dan kekacauan pemerintahan di keraton, Sultan Zainul Ariin tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh Ratu Syarifah Fatimah.
Sultan Zainul Ariin membatalkan penunjukan Pangeran Gusti sebagai putra mahkota atas pengaruh Ratu Syarifah Fatimah. Pangeran Gusti diasingkan ke Sailan pada tahun 1747, dan menantu Ratu Fatimah, Pangeran Syarif Abdullah, diangkat menjadi putra mahkota. Ratu Syarifah Fatimah memitnah Sultan Zainul Ariin gila, sehingga sultan ditangkap VOC dan diasingkan ke Ambon.
Setelah Sultan Zainul Ariin diasingkan, Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan sebagai Sultan Syarifuddin Ratu Wakil, namun Ratu Fatimah yang memegang kuasa. Rakyat dan sebagian pembesar negeri melakukan perlawanan bersenjata di bawah pimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang. Mereka menyerbu Surosowan, membagi pasukan menjadi dua kelompok: Ratu Bagus Buang menyerang kota, Ki Tapa mencegat bantuan VOC.
VOC memukul mundur pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang dengan bantuan tambahan dari Belanda. Ki Tapa menyingkir ke pedalaman Banten dan menjadikan Sajira (Lebak) sebagai pusat pertahanan. Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel memerintahkan penangkapan Ratu Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin, mengasingkan mereka ke Maluku.
Pengangkatan Sultan Baru dan Perjanjian dengan VOC
VOC mengangkat Pangeran Arya Adisantika menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’ Zainal ‘Alimin (1752). Pangeran Gusti dikembalikan dari pengasingan dan ditetapkan sebagai putra mahkota. Sultan Abulma’ali harus menandatangani perjanjian dengan VOC yang semakin memperkuat kekuasaan VOC atas Banten.
- Banten di bawah kuasa penuh VOC Belanda.
- Sultan akan mengirim utusan ke Batavia setiap tahun sambil membawa upeti berupa lada.
- Hanya VOC Belanda yang boleh mendirikan benteng di Banten.
Monopoli dan Perlawanan Rakyat
Banten hanya boleh menjual kopi dan tebu kepada VOC. Banyaknya produksi kopi dan tebu di Banten harus ditentukan VOC. Perjanjian merugikan Banten, Pangeran Gusti dan pembesar keraton gusar, rakyat berhubungan dengan Ki Tapa di Sajira.
Di bawah pimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, rakyat kembali mengangkat senjata menentang VOC. Para pangeran dan pembesar keraton melakukan pengacauan di dalam kota. VOC akhirnya dapat melumpuhkan serangan tersebut.
Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’zainul ‘Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti (1753). Pangeran Gusti dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Abu’l Nasr Muhammad ‘Arif Zainul ‘Asiqin (1753-1773). Pada 1809, Gubernur Jenderal Daendels menghapus Kesultanan Banten, wilayahnya dibagi dua: Caringin dan Serang.
Setelah kekuasaan berpindah ke Sir Stamford Raffles, wilayah di bekas Kesultanan Banten dibagi menjadi empat kabupaten (1813). Kabupaten tersebut adalah Banten Lor, Banten Kulon, Banten Tengah, dan Banten Kidul. Kesultanan Banten secara efektif berakhir setelah dihapuskan oleh Daendels dan dibagi menjadi kabupaten-kabupaten.
0 Komentar