1. Sejarah sebagai Peristiwa
Dalam mempelajari sejarah, salah
satu manfaat yang dapat kita peroleh ialah manfaat pendidikan. Dari manfaat ini
maka kita sering mendengar ucapan "Belajarlah dari sejarah" atau
"Sejarah mengajarkan kepada kita" atau "Perhatikanlah
pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh sejarah". Dengan demikian,
persoalan "belajar dari sejarah" ini menyangkut diktum
"L'historie se repete" atau sejarah berulang. Maka kita bertanya :
"Benarkah sejarah berulang?"
Secara sepintas kita cenderung
untuk menjawab dengan tegas "tidak". Dengan alasan bahwa tidak ada
peristiwa yang dapat terjadi lagi. Perlawanan Pattimura 1817; Perlawanan Kaum
Paderi (1821-1838), Perlawanan Diponegoro (1825-1830); Perlawanan Bali
(1846-1905), Perlawanan Aceh (1871-1904), dan perlawananperlawanan daerah yang
lain, demikian juga Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak akan terjadi lagi, tidak
akan terulang lagi. Semua ini sesuai dengan diktum Geschiste ist einmalig atau
sejarah hanya terjadi sekali saja.
Jadi, sejarah sebagai peristiwa
yang tidak mungkin terulang lagi (einmalig = terjadi sekali saja). Dengan kata
lain, sejarah sebagai peristiwa, hanya sekali terjadi (einmalig).
2. Sejarah sebagai Kisah
Sejarah sebagai kisah adalah
sejarah yang menyangkut penulisan peristiwa tersebut oleh seseorang sesuai
dengan konteks zamannya dan latar belakangnya. Sejarah sebagai kisah dapat
kisahkan atau ditulis lagi oleh siapa saja dan kapan saja sehingga ada proses
berkelanjutan.
Peristiwa-peristiwa seperti
Perlawanan Pattimura 1817; Perlawanan Kaum Paderi (1821-1838), Perlawanan
Diponegoro (1825-1830); Perlawanan Bali (1846-1905), Perlawanan Aceh
(1871-1904), Proklamasi 17 Agustus 1945 dan sebagainya dapat berulang-kali
ditulis kembali (dikisahkan) oleh penulis sejarah (sejarawan) atau orang yang
berminat pada sejarah, baik oleh angkatan '45, ‘50, ‘66, atau angkatan 2004.
Hasil penulisannya berupa karya tulis, dapat berwujud cerpen, buku atau dalam
majalah, surat kabar, dan sebagainya.
Demikian juga kegiatan upacara
peringatan Proklamasi 17 Agustus dapat terulang-ulang di mana saja, oleh siapa
saja, misalnya di sekolah oleh warga sekolah, di kantor oleh warga kantor, di
kampung oleh warga kampung dan sebagainya, yang hingga tahun 2006 telah genap
61 tahun (HUT RI ke-61). Jadi, peristiwanya hanya sekali (proses tidak
berkelanjutan = sejarah obyektif = sejarah sebagai peristiwa), namun
kisahnya/peringatannya atau makna dari peristiwa tersebut dapat berulang-ulang
(ada proses berkelanjutan = sejarah subyektif = sejarah sebagai kisah).
Sejarah sebagai kisah adalah
sejarah yang dapat terjadi berulang kali, karena kisah dari suatu peristiwa
tersebut dapat ditulis oleh siapa saja dan kapan saja.
3. Sejarah sebagai Ilmu
Berdasarkan uraian di atas kita ketahui bahwa sejarah mempunyai beberapa pengertian, yaitu sebagai berikut.
a.
Sejarah sebagai peristiwa adalah menyangkut peristiwanya itu sendiri, yang
sekali terjadi, sehingga tidak berulang.
b. Sejarah sebagai kisah adalah
menyangkut penulisan kembali peristiwa tersebut oleh seorang sejarawan/siapa
saja yang berminat terhadap sejarah lewat jejak-jejak masa lalu.
Selain sejarah sebagai peristiwa
dan sebagai kisah, sejarah juga sebagai ilmu. Untuk memahami tentang sejarah
sebagai ilmu ; perlu kiranya mengetahui apa ilmu itu dan apa kriterianya? Ada
beberapa jalan untuk mencari pengetahuan, antara lain sebagai berikut.
a. Dengan jalan mendengarkan
cerita orang lain Pengetahuan yang didapat dari mendengarkan cerita orang,
belum sahih jika belum ada bukti-bukti pengujiannya, sebab mungkin sekali
cerita itu hanya mengisi waktu luang.
b. Dengan jalan keterangan/penelitian
Pengetahuan yang berdasarkan keterangan, memberi dasar yang kuat, dan kokoh
akan pengetahuan kita.
c. Dengan jalan pengalaman
sendiri Pengetahuan berdasarkan pengalaman ada yang berdasarkan kenyataan yang
pasti; tetapi derajat kebenarannya tergantung akan ketajaman pengetahuan kita.
Untuk membedakan pengetahuan yang
didapat dari pengalaman dan penelitian dapat diberikan beberapa contoh sebagai
berikut. Seorang petani menggunakan pupuk untuk tanamannya karena berdasarkan
pengalamannya, tanaman yang dipupuk memberikan hasil lebih baik daripada
tanaman yang tidak dipupuk. Pengetahuan tersebut berdasarkan pengalamannya
sendiri. Lain halnya seorang ahli tanaman, memberikan pupuk pada tanaman
berdasarkan penyelidikan/penelitian, bahwa tanaman itu memerlukan jenis pupuk
tertentu dan pada saat-saat tertentu sehingga hasilnya baik.
Kedua contoh tersebut di atas
sama-sama pengetahuan untuk memupuk tanaman. Pengetahuan yang didapat
berdasarkan pengalaman, disebut pengetahuan pengalaman atau sering disingkat
pengalaman. Adapun pengetahuan yang didapat berdasarkan penelitian disebut
ilmu. Suatu pengetahuan disebut ilmu jika memenuhi beberapa kriteria, yakni :
(1) memiliki metode yang efisien, (2) memiliki obyek yang definitif, (3)
memiliki formulasi kebenaran yang umum, (4) adanya penyusunan yang sistematis,
dan (5) memiliki kebenaran yang objektif.
Dari uraian di atas mengenai
ciri-ciri ilmu, bagaimanakah dengan sejarah? Jelaslah bahwa sejarah juga
termasuk ilmu tersendiri, karena memiliki persyaratan sebagai ilmu, yakni:
a. Memiliki Tujuan
Ilmu memiliki tujuan sendiri
untuk membedakan dengan ilmu yang lain. Artinya, dengan memiliki tujuan,
sesuatu ilmu akan dibatasi oleh objek material atau sasaran yang jelas.
Misalnya, objek ilmu kedokteran adalah manusia dan masyarakat dengan sasaran
pokok tubuh manusia (misalnya penyakit). Dengan demikian fokus usahanya ialah
usaha untuk menyembuhkan supaya manusia menjadi sehat. Ilmu kedokteran juga
bertujuan untuk memanfaatkan ilmu dan teknologi kedokteran demi untuk menjaga
kesehatan manusia dan masyarakat.
Sementara itu, objek kajian
sejarah adalah kehidupan manusia masa lampau, yang selanjutnya dapat dikaitkan
dengan kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang sebagai kontinuitas
kehidupan. Sejarah memiliki ruang lingkup yang jelas, yakni apa yang
dipikirkan, dilakukan, dan dirasakan oleh manusia.
b. Memiliki Metode
Metode dalam arti yang luas
adalah cara atau jalan untuk melakukan sesuatu menurut aturan tertentu. Dengan
menggunakan metode, maka seseorang dapat melakukan kegiatan secara lebih
terarah. Dengan demikian kegiatan tersebut bersifat lebih praktis sehingga
dapat mencapai hasil maksimal. Kumpulan pengetahuan yang memiliki metode akan
dapat tersusun secara lebih terarah, lebih teratur serta lebih mudah
dipelajari. Tanpa suatu metode, suatu pengetahuan mengenai apa pun tidak dapat
digolongkan ke dalam ilmu. Sejarah memiliki metode tersendiri dalam kerangka
penelitiannya, yakni metode sejarah meliputi pengumpulan, mengadakan penilaian
sumber (kritik), penafsiran data dan penyajian dalam bentuk cerita sejarah
(historiografi).
c. Pemikiran yang Rasional
Ilmu hanya dapat dipahami dengan
akal pikiran yakni dengan menggunakan penalaran yang sehat. Analisis yang
dilakukan terhadap sejumlah pengetahuan harus dilakukan sedemikian rupa
sehingga dapat diterima oleh aturan-aturan logika untuk mencapai suatu
kesimpulan. Proses penyimpulan itu disebut penalaran. Demikian pula dengan
syariah apa yang disajikan dalam bentuk sejarah diusahakan sejauh mungkin
mendekati seperti peristiwanya. Hal ini dapat dilakukan dengan analisis data
secara ilmiah dengan menggunakan rasio.
d. Penyusunan yang Sistematis
Penyusunan secara sistematis
memungkinkan pengetahuan yang diteliti saling berkaitan dengan bidang ilmu lain
sehingga merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan satu sama lain.
Dengan demikian, berbagai pengetahuan tersebut tidak saling bertentangan
melainkan dapat runtut dan konsisten. Jadi, yang dimaksud dengan ilmu bukan
hanya sekedar kumpulan pengetahuan yang terkumpul menjadi satu. Penyusunan
secara sistematis pengetahuan sejarah mulai dari langkah yang pertama
(pengumpulan sumber) sampai dengan yang terakhir (penulisan sejarah sebagai
kisah).
e. Kebenaran Bersifat Objektif
Pengetahuan ilmiah dapat
dikomunikasikan dengan orang lain dan kebenarannya dapat diterima oleh orang
lain juga, karena sesuai dengan kenyataan (objektif). Sejarah sepanjang
menyangkut tentang fakta adalah objektif. Oleh karena fakta sejarah adalah
objektif, maka penulisannya harus berdasarkan fakta tersebut. Dengan demikian,
sejarah memiliki kebenaran objektif. Dengan kriteria seperti tersebut di atas,
maka jelas bahwa sejarah dapat dimasukkan dalam ilmu tersendiri. Jadi ilmu
sejarah memperoleh kedudukan sebagai ilmu setelah pelbagai peristiwa sejarah
itu disoroti sebagai suatu permasalahan dengan cara menganalisis hubungan sebab
akibat sedemikian rupa, sehingga dapat ditemukan hukum-hukum sejarah tertentu
yang menjadi patokan bagi terjadinya peristiwa.
4. Sejarah sebagai Seni
Satu pertanyaan yang terbersit
dalam pemikiran kita setelah kita mengetahui bahwa sejarah merupakan ilmu
tersendiri karena berbagai kriteria yang dimilikinya, yaitu mengapa sejarah
juga sebagai seni?
Apabila seseorang menulis
(sejarah sebagai kisah), berdasarkan jejak-jejak masa lampau yang berupa
sumber-sumber yang telah diseleksi secara ilmiah, maka sumber itu merupakan
sumber lepas dan belum dianggap sejarah. Hasil penelitian terhadap
sumber-sumber itu barulah menjadi bahan-bahan dalam penyusunan penulisan
sejarah sebagai kisah. Bahan-bahan lepas, daftar atau deretan angka-angka tahun
serta catatan-catatan peristiwa itu semuanya baru merupakan kronik, dan bukan
sejarah. Semuanya baru bisa dikatakan sejarah setelah dirangkai, disusun oleh
seorang sejarawan atau peminat sejarah dengan menggunakan metode sejarah.
Dengan demikian jelas bahwa, meskipun seseorang menulis suatu kisah/sejarah
berdasarkan sumber-sumber yang sama belum tentu hasilnya akan sama. Perbedaan
itu bukan dalam data, atau pun sumbernya, tetapi penafsirannya dan
penyimpulannya. Sebab latar belakang penulis juga ikut mewarnainya, seperti
pendidikan, falsafah hidupnya, dan pengalaman, begitu juga penuturannya.
Jadi meskipun sejarah disusun
berdasarkan bahan-bahan secara ilmiah, tetapi penyajiannya menyangkut soal
keindahan bahasa, dan seni penulisan; maka kita cenderung untuk menyimpulkan
bahwa sejarah termasuk juga sebagai karya seni, tetapi yang benar-benar seni
juga tidak, sebab proses penelitiannya dilakukan secara ilmiah. Dengan demikian
jelaslah bahwa dalam proses penelitiannya sumber sejarah bersifat ilmiah,
tetapi dalam taraf penulisannya sejarah bersifat seni.
0 Komentar